Dalam rangka HUT IDI ke
61 (24 Oktober 1950 -24 Oktober 2011)
Kita semua tentu
mengenal Amerika Serikat sebagai salah satu negara kapitalis. Namun, yang amat
mengagetkan karena ternyata salah satu daya tarik bagi pemilih negara tersebut terhadap
Presiden Terplih Obama adalah program jaminan kesehatannya. Ketika itu, di
Amerika Serikat terdapat sekitar 47 juta orang tidak memiliki/dilindungi oleh jaminan
kesehatan (asuransi kesehatan). Sebagai Negara Adi Daya tentu hal ini
sangat aneh. Bila dibanding dengan
Inggris, Jepang, dan beberapa negara lain
yang tenyata kedua negara ini hampir seratus persen penduduknya dilindungi
asuransi kesehatan sehingga ketika ia sakit maka tidak perlu hawatir atau cemas
akan jatuh miskin. Oleh karena itu, Obama yang terpilih sebagai presiden
berjanji akan mengatasi masalah ini dengan program terencana dan spesifik
termasuk skema kelembagaan, keuangan, dan pendanaanya.
Gagasan
politik kesejahteran Obama tersebut, setidaknya menyimpan dua pesan yang amat
berharga bagi setiap negara yang ingin melindungi rakyatnya: (a) kesehatan
masyarakat menjai isu terdepan dalam
agenda pemilu dan relasi antara politisi dan pemilih; (b) sejauh mana kompetisi
pemilu juga melibatkan kompetisi gagasan dan konsep untuk pemecahan masalah dan
dijustifikasi secara eksplisit, bukan sekedar retorika umum atas sebuah isu
pemilu, pilpres, atau pilkada semata.
Pertanyaannya
kemudian adalah bagaimana dengan Indonesia? Apakah politik kesehatan dan kesejahteraan
rakyat akan menjadi prioritas utama pada setiap “event” pemilihan pejabat
negara? Sebagian kalangan berpendapat
bahwa Indonesia belumlah mencapai tingkatan kesadaran semacam itu. Penyebabnya
karena realitas dan kinerja kesehatan kita kini masih memiliki dua wajah. Wajah
pertama, seiring pertumbuhan ekonomi selama 30 tahun dan sebelum krisis dan 10
tahun pasca krisis 1998, dimana lapisan kelas menengah yang mampu membayar jasa
pelayanan kesehatan makin besar. Demikian pula konsumen untuk pelayanan
kesehatan dan pasar kesehatan juga makin besar. Sehingga tidak heran bila makin
banyak warga Indonesia dengan enteng melenggang ke luar negeri untuk berobat,
memperoleh jasa pelayanan yang dianggapnya lebih baik dan berkelas dunia. Fakta
lain, makin tumbuhnya rumah sakit swasta yang berlabel “kelas internasional”
didirikan di kota-kota besar untuk sekedar memenuhi tuntutan dan kebutuhan
kelompok masyarakat ini tertentu.
Wajah kedua
adalah kelompok masyarakat warga negara kebanyakan yang gagal memperoleh
pelayanan kesehatan yang layak akibat rendahnya akses dan rendahnya mutu
pelayanan kesehatan. Dan kalau pun memperoleh pelayanan kesehatan maka yang
didapatkan berupa kualitas yang tidak memadai dengan fasilitas kesehatan yang
seadanya.
Pendapat senada
pernah disitir oleh Prof. Djalaludin Rahmat di dalam suatu forum diskusi bulan
Agustus lalu. Cendekiawan muslim yang
akrab disapa dengan Kang Djalal ini menyampaikan
presentasi berjudul, “Attacking
inequality in health sector”. Dalam
pemaparannya dikemukakan, “terdapat orang yang lebih dari yang lain dalam
pemenuhan hak-hanya, misalnya orang kaya.
Bahwa setiap warga memiliki hak untuk sehat adalah betul, namun tidak
setiap warga negara memiliki kesempatan untuk menggunakan haknya. Hampir di
seluruh negara, masyarakat miskin lebih banyak mengalami masalah dalam
pemenuhan hak-hak kesehatan. Akses, fasilitas serta tenaga kesehatan di sekitar
masyarakat miskin tidak memadai dan kurang terlalih, obat-obatan kurang
tersedia dan mahal, serta tidak adanya keberanian untuk menuntut hak-hak sehat
kepada pemerintah atau tenaga kesehatan ketika haknya diabaikan. Kemiskinan dan
kesehatan adalah realitas kehidupan yang memprihatinkan bagi orang-orang miskin”.
Bagi orang-orang
miskin, perbaikan layanan kesehatan merupakan dorongan untuk mempercepat penanggulangan
kemiskinannya. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi kaum miskin mempunyai
arti penting, paling tidak karena tiga alasan: (a) satu-satunya modal utama dan kebanggan bagi orang miskin itu
adalah keadaan sehatnya; (b) untuk menjamin terpenuhinya keadilan sosial bagi
masyarakat miskin; (c) untuk menjamin stabilitas politik nasional.
Keadilan sosial di bidang kesehatan
Perwujudan
keadilan sosial itu harus mencerminkan imperatif
etis keempat silanya. Menurut
Notonogoro (1974), sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia diliputi
dan dijiwai oleh sila-sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan”
Di sisi
lain, otentitas pengamalan sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan
keadilan sosial dalam peri-kehidupan kebangsaan. Kesungguhan negara dalam
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan
persatuan bisa dinilai dari usaha nyata dalam mewujudkan keadilan sosial.
Dengan
aktualisasi negara kesejahteraan, diharapkan negara dapat mengelola kekayaan
bersama (commonwealth) untuk sebesar-besanya kemakmuran rakyat,
mencegah penguasaan kekayaan bersama oleh modal perseorangan (baik kapitalis
asing maupun lokal) yang melemahkan sendi ketahanan ekonomi kolektif,
mengembangkan semangat “tolong- menolong” (koperasi) dalam setiap bentuk badan
usaha serta memperkuat badan usaha koperasi bagi emansipasi golongan ekonomi
kecil dan menengah. Negara kesejahteraan juga diharapkan bisa memberi
kesempatan bagi semua warga untuk mengembangkan diri melalui akses pendidikan dan
peningkatan pengetahuan bagi semua, perluasaan kesempatan serta jaminan sosial
sebagai jaring pengaman sosial.
Di bidang
kesehatan, negara seharusnya memikirkan nasib rakyat dengan cara menyediakan
fasilitas kesehatan memadai serta tenaga kesehatan yang profesional (kompeten).
Dan kemudian secara bersunguh-sungguh menyediakan jaminan sosial kesehatan bagi
seluruh rakyat tanpa diskriminasi untuk melindungi dan memberi rasa aman
terhadap kemungkinan timbulnya ketakutan akan menjadi hidup miskin dan lemah
ketika suatu saat rakyat itu sakit.
Pelayanan
kesehatan yang profesional baru memiliki daya ungkit maksimal dalam perwujudan
keadilan sosial bila ditopang oleh sistem pembiayaan yang berkeadilan. Begitu pentingnya jaminan sosial ini sehingga
Prof. F. A. Moeloek, dalam suatu sesi
diskusi publik mengatakan, “Tanpa jaminan sosial kesehatan maka tidak ada
kedaulatan rakyat untuk sehat”.
Setidaknya
ada tiga alasan utama kenapa jaminan sosial di bidang kesehatan di suatu negara
semakin menjadi penting bila ia ingin mewujudkan cita-cita keadilan sosial.
Ketiga alasan itu adalah: (a) ketidakpastian munculnya kondisi sakit; (b) layanan
kesehatan tidak bisa ditunda; (c) adanya disparitas informasi dan
pengetahuan antara pasien dan
dokter/tenaga kesehatan lainnya. Memperhatikan ketiga alasan ini maka
seharusnya pelayanan kesehatan tidak diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Pemerintah
harus mampu menjamin pelayanan kesehatan kepada setiap warga negara tanpa
membedakan status sosial budaya dan ekonominya. Tanpa
jaminan sosial yang akan memberi perlindungan kepada rakyat Indonesia
di era liberalisasi pelayanan kesehatan maka dapat diibaratkan bila seorang ibu
membiarkan anaknya dimangsa binatang buas.
Karena itu
perwujudan negara kesejahteraan sangat ditentukan oleh integritas dan mutu para
pemerintah atau penyelenggara negara, disertai dukungan rasa tangung jawab dan
rasa kemanusiaan yang terpancar pada setiap warga negara tersebut. Dalam visi negara
ini yang hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, berlaku
prinsip “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Tidak sepantasnya, pejabat
negara hanya ingin mendapat untung dengan membiarkan rakyat terus “buntung”. Maka dari itu, pokok pikiran keempat
UUD 1945 : “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab”, mengandung isi
yang mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara lainnya untuk memelihara
budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat
yang luhur.
Menurut Yudi
Latif (Negara Paripurna, 2011),
keadilan sosial adalah satu-satunya sila Pancasila yang dilukiskan dalam
Pembukaan UUD 1945 dengan menggunakan kata kerja “mewujukan suatu Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Prinsip keadilan adalah inti dari moral
ketuhanan, landasan pokok kemanusiaan, simpul persatuan, dan matra kedaulatan .
Dengan
pemenuhan imperatif moral sila
keadilan sosial, diharapkan agar rakyat
Indonesia dapat keluar dari jeritan panjang belenggu kesakitan dan kemiskinan,
untuk selanjutnya menemukan impian kebahagiaannya berupa, “gemah ripa loh jinawi, tata tenteram kerta raharja” (Sunda)
atau “wanua adele’ na salewangeng” (Bugis). Sebuah negeri yang berlimpah
kebajikan, yakni negeri adil dan makmur yang di ridhai Allah SWT. Insya Allah.
Oleh: Zaenal Abidin
(Ketua Terpilih PB Ikatan Dokter
Indonesia)
Catatan:
Tema HUT IDI
tahun ini sama dengan tema Mukernas IDI ke 29 (19–23 Oktober 2011 di Pekanbaru):
“Reaktualisasi Profesionalisme dokter Indonesia menuju pelayanan kesehatan
berkeadilan”.
Harian Fajar Makassar - 25 Oktober 2011