(Refleksi kerakyatan Hari Kesehatan Nasional 2011)
Membaca sebuah artikel di Kompas kemarin, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2011,
artikel yang berjudul “Indonesia Hadapi Gizi Buruk dan Obesitas”. Judul
artikel yang sudah banyak diulas oleh banyak media
nasional di tahun 2011 ini. Mengulas permasalahan gizi anak Indonesia
yang memang sudah mendesak untuk diselesaikan (diulas juga health.kompas.com pada tanggal 25 Juli 2011 yang lalu).
Permasalahan
dari sekian banyak masalah yang menjadi pekerjaan rumah utama bagi
pemerintah Indonesia khususnya Kementrian Kesehatan sebagai leading
sector, dengan tetap membutuhkan peran semua komponen bangsa. Namun
khusus bulan ini, persoalan gizi dan kesehatan akan menjadi topik
sentral dari pembicaran kalangan elit pemerintahan sebagai dampak
ditetapkannya tanggal 12 November
sebagai Hari Kesehatan Nasional.Hari Kesehatan Nasional (HKN) tahun ini
bertema “Indonesia Cinta Sehat”. Demikian Dr. Mahesa Paranadipa, M.H
dalam prawacana diskusinya.
Diskusi terbatas yang diselenggarakan di Cafe Nona Bola Menteng (10-11-2011)
ini, dihadiri oleh segenap pengurus Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar
Gizi. Sebagai pemandu diskusi Mahesa kembali menyatakan bahwa pengertian
kata cinta itu
selalu dipersepsikan sebagai suatu perasaan yang tulus keluar dari hati
setiap manusia terhadap sesuatu yang dianggapnya paling berharga. Kata
cinta memiliki makna yang lebih mendalam daripada kata sayang. Maka jika
kata cinta disandingkan dengan objek sehat, tentunya akan memberi makna
betapa berharganya keadaan sehat, yang jika merujuk kepada definisi WHO
(1950), sehat adalah suatu keadaan sehat jasmani, rohani dan sosial
yang merupakan aspek positif dan tidak hanya bebas dari penyakit serta
kecacatan yang merupakan aspek negative. Kata cinta kemudian juga layak
disandingkan dengan pengorbanan, demi untuk mendapatkan kesehata yang
telah menjadi prioritas utama dalam hidupnya, maka seseorang rela
mengupayakan apapun untuk mendapatkannya dan berupaya keras untuk
mempertahankannya. Kembali kepada tema “Indonesia Cinta Sehat”, dalam
kata pengantar Panduan HKN 2011 disebutkan “Melalui tema ini diharapkan
dapat meningkatkan semangat, kepedulian, komitmen dan gerakan nyata
pembangunan kesehatan yang harus terus diperjuangkan oleh seluruh
komponen bangsa". Hal ini, jika dihubungakan dengan artikel malnutrisi
Kompas (10/11/2011), harus memberikan semangat gerakan nyata untuk
memperbaiki permasalahan gizi, terutama gizi anak yang tentunya akan
mempengaruhi keadaan generasi penerus bangsa.
Sementara itu Dr.
Moh. Adib Khumaidi, SpOT yang juga merupakan pengurus yayasan menyitir
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan, prevalensi
anak balita dengan berat kurang akibat kurangnya asupan gizi sebesar
17,9%, kependekan 35,6%, kekurusan 13,3%, dan kegemukan 14%. Gangguan
pertumbuhan anak balita itu sejak usia 6 bulan. Gangguan pertumbuhan
berupa berat kurang, kependekan, dan kekurusan banyak dialami anak di
desa, orantua berpendidikan rendah, serta anak petani, nelayan, atau
buruh.
Sebaliknya, kegemukan dominan pada anak perkotaan yang
orangtuanya mapan. Pendidikan orangtua kurang berpengaruh. “Gangguan
kecerdasan akibat kurang gizi berdampak seumur hidup, sedangkan
kelebihan gizi hanya sementara,” kata Ketua Divisi Tumbuh Kembang Anak
dan Remaja RSU Soetomo, Ahmad Suryawan. Hal seruap juga pernah
disampaikan oleh Prof.Razak Thaha pada diskusi launching Yayasan Gema
Sadar Gizi pada Juni 2010 yang lalu. Launching yang saat itu sempat
dihadiri oleh almarhum Franky Sahilatua (semoga mendapat ketenangan
disisiNya).
Walaupun data Riskesdas 2010 ini mendapat kritikan
dari Panji Hadisoemarto (seorang pelajar Kesehatan Masyarakat Global,
Universitas Harvard) yang ditulis di Kompasiana.com tanggal 7 April 2011,
setidaknya data tersebut memberikan dasar untuk mengambil keputusan
bagi komponen bangsa yang peduli terhadap permasalahan gizi. Salah satu
dari komponen bangsa itu adalah Yayasan Gema Sadar Gizi.
Akhir-akhir
ini, beberapa berita di media nasional memuat berita mengenai gizi
buruk. Seperti kasus gizi buruk yang menimpa balita 11 bulan di jalan
Bonto Duri Makassar, dimuat di Fajar Online 22 Oktober 2011. Menjadi
ironis karena terjadi di daerah yang merupakan lumbung padi nasional.
Selain itu, sebanyak 9.378 balita mengalami gizi buruk di Banten, dimuat di suarajabar.com
11November 2011. Salah satu provinsi yang juga merupakan lumbung padi
nasional serta letaknya lebih dekat kepada Ibukota. Dan yang lebih
ironis adalah berita mengenai balita berumur 3 tahun yang mengalami gizi
buruk kemudian di rawat di RS Koja Jakarta Utara, dimuat di tempointeraktif.com
25 Agustus 2011. DI Jakarta, dimana perputaran uang terbesar di
Republik ini ternyata hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki
"kasta ekonomi" lebih tinggi
Dr.Zaenal Abidin,
selaku pendiri yayasan, selalu menyampaikan bahwa jika persoalan gizi
pada anak pada periode emas usia di bawah dua tahun dan pada masa
kehamilan tidak juga tuntas diselesaikan maka siap-siap kita akan
mendapatkan generasi dengan "otak kosong". Generasi dengan otak kosong
hanya akan menjadi beban masyarakatnya karena akan menjadi generasi
kurang produktif. Bahkan jika diberi setimulus sebanyak apa pun
kepadanya, perkembangan kecerdasannya tetap lambat.
Pemerintah
dan komponen bangsa yang lain harus bahu membahu untuk mencegah agar
otak kosong ini tidak terjadi. Walaupun fakta ironis menyebutkan Human
Development Index (HDI) Indonesia tahun 2011 ini menurun dari peringkat
109 pada tahun 2010 menjadi 128 dari 187 negara. Posisi yang lebih rendah dibandingkan Negara lain di ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand,
dan Filipina (Data UNDP,2011). Lebih lanjut, Dr.Zaenal menambahkan
pemikiran mengenai solusi problematika gizi di negeri ini, diantarnya :
(1) data dan pemetaan yang jelas mengenai kantong-kantong gizi kurang
dan gizi buruk seluruh Indonesia; (2) pelaksanaan program harus
terencana, mulai dari kegitan promotif-preventif-kuratif-rehabilitatif
gizi.; (3) memaksimalkan potensi masyarakat dalam melakukan solidaritas
sosial gizi dan; (4) memelopori/mengkoordinasikan dalam setiap aktivitas
pemberdayaan gizi yang dilakukan oleh lembaga masyarakat
Sementara
itu, Dr.Tirta Prawita Sari, MSc (Ketua Yayasan Gema Sadar Gizi),
menyatakan masalah gizi di Indonesia telah mengalami beban ganda. Gizi
kurang belum selesai (tetap banyak) namun di sisi lain gizi lebih
memiliki grafik yang bergerak naik.
Tirta mengatakan bahwa pola
asuh keluarga adalah salah satu upaya yang cukup strategis dalam
pengentasan beban ganda gizi ini. Pola asuh tidak hanya bergantung pada
peranan ibu, namun dukungan ayah dan lingkungan pun sangat dibutuhkan.
Hal lain yang juga sangat penting adalah bagaimana memaksimalkan
kearifan lokal/bahan gizi di sekitar tempat tinggal kita sebagai sumber
daya dalam pemenuhan gizi anak. Perlu diketahui bahwa bahan lokal tidak
kalah bahkan nilai gizinya bisa jadi lebih baik dibanding bahan makan
pabrikan.
Selanjutnya, Tirta menyampaikan yayasan Gema Sadar Gizi
sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada
pembinaan gizi berupa edukasi dan pola asuh gizi kepada masyarakat,
mengharapkan agar pemerintahdapat memaksimalkan partisipasi LSM yang
konsen dalam persoalan gizi, sehingga cita dan harapan dari HKN 2011 ini
dapat dicapai.--
12/11/2011 Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi
No comments:
Post a Comment