Menjadi ibu rumah tangga sering dianggap pekerjaan yang remeh-temeh
oleh kebanyakan orang. Anggapan ibu rumah tangga yang hanya bergelut
dengan “dapur” dan “kasur” kadang membuat sebagian ibu merasa minder
jika ditanya mengenai pekerjaan dengan mengatakan “aku saya cuma Ibu
rumah tangga”. Apalagi jika latar ibu rumah tangga tersebut seorang
yang berpendidikan tinggi, dianggap punya potensi untuk berkarir.
Seringkali terdengar komentar yang ditujukan kepada wanita yang memilih
mengabdikan hidupnya untuk keluarga ini dengan nada yang menyayangkan.
Misalnya “Sayang ya sudah sekolah tinggi-tinggi cuma jadi ibu rumah
tangga”. Demikian Dr. Fitria N. Pulukadang mengawali peresentasinya
pada diskusi terbatas yang diselenggarakan Yayasan Gerakan Masyarakat
Sadar Gizi , dalam rangka Hari Ibu ke 83 Tahun 2011, di Café Nona Bola,
Jakarta Pusat, Senin pagi (19/12).
Lebih lanjut, Fitria yang kini menjadi aktivis dan Pengurus Yayasan
Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, mengatakan ibu adalah madrasah pertama
untuk anak-anaknya, tempat dimana anak mendapat asuhan dan diberi
pendidikan pertama bahkan mungkin sejak dalam kandungan. Seorang ibu
secara sadar atau tak sadar telah memberi pendidikan kepada sang janin,
karena menurut penelitian bahwa bayi dalam kandungan sudah bisa
mendengar bahkan ikut merasakan suasana hati sang ibunda. Belum lagi
pendidikan yang diberikan pada saat ibu menyusui bayinya.Tak heran jika
ikatan emosional dari seorang ibu kepada anak tampak lebih dibanding
dengan dari ayah. Melihat pentingnya peran ibu, ibu hamil, dan bahkan
calon ibu, sehingga ia harus mendapatkan perhatian serius.Kita harus
bisa melindungi ibu dari berbagai himpitan masalah gizi dan kesehatan.
Dari sisi status kesehatan , angka kematian ibu (AKI) Indonesia
secara Nasional dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2007, dimana
menunjukkan penurunan yang signifikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan
SDKI survei terakhir tahun 2007 AKI Indonesia sebesar 228 per 100.000
Kelahiran Hidup, meskipun demikian angka tersebut masih tertinggi di
Asia.Prevalensi nasional kurang energi kronis pada perempuan usia subur
(berdasarkan LILA yang disesuaikan dengan umur) adalah 13,6%. Sebanyak
10 provinsi mempunyai prevalensi kurang energi kronis pada perempuan
usia subur di atas prevalensi nasional, yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah,
DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Sementara itu, nilai
rerata nasional Kadar Hemoglobin Pada Perempuan Dewasa adalah
13,00 g/dl. Sebanyak 17 provinsi mempunyai nilai rerata Kadar Hemoglobin
pada perempuan dewasa dibawah nilai rerata nasional, yaitu Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Riau, Lampung, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara. Sedangkan kondisi anemia pada ibu
hamil memperbesar resiko kematian saat melahirkan serta penyakit pasca
melahirkan. Jika masalah anemia pada perempuan dewasa ini tidak juga
diatasi maka angka kematian ibu (AKI) masih dikhawatirkan sulit untuk
diturunkan.
Masalah kesehatan lain yang dihadapi oleh kaum ibu atau perempuan
adalah infeksi HIV/AIDS. Jumlah perempuan yang terinfeksi HIV AIDS di
Indonesia terus meningkat dengan cepat. Di Indonesia saat ini terdapat
sekitar 40.000 ibu rumah tangga yang terkena HIV AIDS karena tertular
dari suami mereka. Semuanya itu menujukkan masih rendahnya perhatian dan
belum bisanya kita menempatkan ibu pada kedudukan yang terpandang,
ungkap Fitria.
Pada kesempatan yang sama Dr. Tirta Prawita Sari, MSc, Ketua Yayasan
Gerakan Masyarakat Sadar Gizi mengungkapkan bahwa golongan yang paling
rentan terhadap kekurangan gizi adalah ibu hamil, bayi, dan balita.
Bahkan jauh sebelum ia hamil terkadang sudah rentan. Tingginya
prevalensi anemia dan kurang energi protein pada ibu hamil, atau bahkan
juga bagi kelompok wanita usia subur, menjadi petunjuk kerentanan
itu.Tak hanya itu, buruknya sistem pelayanan kesehatan ibu hamil,
persalinan, dan angka kematian ibu yang masih tinggi, serta tidak
masuknya kehamilan dalam item yang ditanggung oleh sistem asuransi,
menjadi pertanda lain betapa bangsa ini abai dalam mengelola asetnya.
Membiarkan ibu hamil dan juga perempuan usia subur berada dalam keadaan
kurang gizi berarti telah menempatkan bangsa ini dalam bahaya, imbuh
Tirta.Tirta, yang juga dosen Ilmu Gizi Klinik Fakultas Kedokteran dan
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta, menyatakan bahwa ibu atau
perempuan usia subur merupakan investasi sempurna bila ingin mendapatkan
bangsa dengan status gizi yang baik. Kehadirannya bukan hanya karena
menjadi ladang persemaian benih atau tempat menumbuhkan generasi baru,
namun peran lain yang lebih mendasar.
Ibu adalah peletak dasar segala prilaku sehat di rumah. Seorang ibu
yang telah tercerahkan oleh pentingnya nutrisi dan kesehatan akan
menjadi lokomotif bagi keluarga dalam menjamin ketersedian gizi
seimbang. Bahkan dalam keterbatasan sumber daya ekonomi, seorang ibu
yang telah memahami gizi mampu menyediakan makanan dengan gizi seimbang,
karena sejatinya, gizi seimbang bukanlah makanan mewah yang begitu
sulit untuk diperoleh. Gizi seimbang haruslah dapat dipenuhi oleh
kelompok sosial ekonomi apapun dan sebaiknya haruslah mengikuti kearifan
lokal, sehingga mudah diperoleh oleh keluarga.Pendidikan secara
kontinyu pada kelompok ibu dan kemudian diterapkan akan menjadi “proyek”
efektif dan efisien untuk mengatasi masalah gizi di Indonesia. Tak
perlu program ambisius yang menyita banyak dana, cukup siapkan saja
sepasukan ibu sadar gizi, maka bangsa ini insya Allah akan terlindungi
dari segala masalah gizi. Sebagai contoh adalah pemerintah Gambia yang
telah berhasil mengatasi masalah kurang energi protein pada wanita
hamil. Mereka menyediakan biskuit tinggi energi bagi wanita hamil untuk
mengatasi masalah tingginya prevalensi bayi berat lahir rendah, dan
upaya ini ternyata berhasil menurunkan prevalensi tersebut hingga 50%
(1997).
Contoh lain menurut Tirta, yang berkaitan ketepatan target dan
intervensi bisa dipelajari dari pemerintah Nigeria. Analisis masalah
yang kuat terhadap masalah gizi akan menghasilkan problem solving yang
efektif. Wanita di desa Kwaren Sabre, Nigeria memiliki beban kerja yang
sangat tinggi. Setiap harinya mereka harus bekerja di ladang, akibatnya
tak banyak waktu dan energi yang tersedia untuk mengurus anak-anak
mereka, sehingga banyak ditemukan anak dengan status gizi kurang.
Kondisi ini kemudian disikapi dengan mengurangi tanggung jawab ibu untuk
bekerja di luar rumah, supaya mereka memiliki banyak waktu untuk
memperhatikan dan mengasuh anak-anaknya. Pengurangan beban kerja ini
berhasil menurunkan angka malnutrisi sebanyak 10% dalam waktu satu tahun
(1995 – 1996).
Dari contoh di atas, jelas menunjukkan bahwa gizi seimbang itu tak
hanya meliputi penyediaan dan proses pengolahan, namun bagaimana ia
dihantarkan hingga masuk kedalam sistem pencernaan anak. Persoalan utama
dari rendahnya asupan gizi seimbang pada anak, bukan hanya terletak
pada ketersediaan pangan yang baik dan penanganan penyakit infeksi,
tetapi lebih pada kecerdasan ibu dalam memberikan pendekatan persuasif
dan ketersedian waktu untuk mencurahkan perhatian terhadap anak agar mau
menyantap menu seimbang tersebut.Upaya persuasi tersebut bukanlah hal
sederhana, mengingat setiap anak memiliki selera dan kemerdekaaan dalam
menentukan kesukaan mereka. Dan agar upaya ini berhasil, seorang ibu
juga harus mampu mengendalikan faktor eksternal anak yang akan
mempengaruhi selera anak. Ibu adalah pembentuk pola makan seimbang bagi
anak. Seorang ibu yang tidak menyukai ikan biasanya secara tak sadar
akan menularkan ketidak-sukaan tersebut pada anaknya. Ibu yang melek
gizi akan menyiapkan preferensi anak dari sejak dini, ia akan menyiapkan
anak untuk hanya menyukai makanan bergizi baik. Ibu adalah peletak
dasar prilaku sehat di rumah dan proteksi utama masalah kesehatan sebuah
keluarga dari segala bahaya kesehatan, ungkap Tirta dalam menutup
paparannya.
sumber : www.sadargizi.com
No comments:
Post a Comment