Saya percaya niat baik akan selalu mendatangkan keajaiban. Terlebih ketika niat baik itu atas nama kemanusiaan.
Sepanjang beberapa waktu ini, hujan keajaiban selalu mengguyur kami yang berjuang untuk saudara-saudara di Asmat yang baru saja melepas status KLB-nya.
Keajaiban ini juga menghapus anggapan saya bahwa isu Asmat sudah tidak seksi lagi oleh publik. Atau isu ini tenggelam di tengah berjibunnya informasi.
Pertama, adalah sebuah keajaiban melihat organ-organ kemanusiaan lintas agama dan profesi bahu membahu bergerak meluruh dalam satu gerakan.
Sangat sulit tentunya mempersatukan lembaga-lemabga tersebut, terlebih agenda dan kepentingan yang tak jarang membuat mereka harus jalan sendiri-sendiri. Hebatnya, mereka merelakan diri untuk menurunkan ego organisasi dan ideologi demi bersatu dalam sebuah payung besar.
Minggu yang lalu, beberapa lembaga kemanusiaan dan Ikatan Dokter Indonesia menyelenggarakan Diskusi Publik mengenai kerja-kerja kemanusiaan yang telah kami lakukan disana dan mendeklarasikan suatu forum bersama “Forum Sinergi Untuk Asmat”.
Forum ini bertujuan untuk lebih mengoptimalkan program-program yang kami jalankan disana dengan lebih bersinergi, saling support dan berkolaborasi dilapangan.
Forum ini juga kami harapkan dapat memberikan rekomendasi yg dapat dijadikan lesson learned ataupun best practice baik stakeholder atau lembaga kemanusian lainnya.
Kedua, keajaiban bahwa mulai diliriknya lagi perjuangan untuk Amsat. Paska status KLB dicabut, isu Asmat seperti kehilangan gaung terutama di media. Padahal permasalahan di sana belum selesai dan masih banyak PR yang perlu diselesaikan.
Kemarin pagi kami diundang oleh Kompas TV untuk menberikan update terkait kegiatan kemanusiaan yang masih terus kami lakukan baik atas nama lembaga-lembaga kemanusiaan dalam hal ini Dompet Dhuafa--sebagai tempat saya mengabdi--dan peran lembaga profesi IDI sebagai rangkaian kegaiatan Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI 2018).
Di situ saya melihat bahwa ternyata publik dan media tidak serta merta melupakan Asmat. Masih banyak yang menganggap Asmat adalah saudara yang ditimpa kemalangan.
Keajaiban terakhir adalah melihat anak-anak muda yang mau saja merelakan waktunya untuk mengurusi perihal kemanusiaan. Saya salut bahwa mereka punya visi dan tidak asal ribut di media sosial ataupun jumawa membantu. Itu saya temukan di pertemuan saya bersama mereka di malam harinya.
Di momen berbuka puasa itu, saya merasa sangat beruntung menemukan energi baru dari anak-anak muda ini.
Mereka adalah dokter-dokter muda yang bisa dibilang mengorbankan sedikit zona nyaman mereka di poliklinik, UGD, studi, ataupun ruang praktek demi membantu program-program di Asmat.
Ada Dr Zainal sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HMP) FKM UI yang bersedia mengkoordinir teman-temannya untuk terlibat jauh di Asmat baik sebagai tim medis ataupun tim supporting di Jakarta.
Ada Dr Taufik, seorang antropolog kesehatan yang sedang mempersiapkan tesisnya. juga bersedia dikirim ke Asmat dalam waktu dekat dan merelakan diri untuk berlebaran di sana.
Juga Drg Tesa yang sempat menemukan beberapa jurnal hubungan permasalahan Gizi dengan Kesehatan Gigi. Temuan ini menurut saya menjadi penting, karena ini dapat membuka mata bahwa kesehatan adalah permasalahan holistik dari gigi hingga budaya.
Dan akhirnya keajaiban itu terangkum dalam sebuah fajar harapan. Membuat saya percaya bahwa Asmat tidak sendiri. Sekaligus keyakinan dengan diktum, "manusia adalah makhluk sosial".
#bahagiamiliksemua #berkahramadhan #25tahumembentangkebaikan #dompetdhuafa #sinergiuntukAsmat
Jakarta, 27 Mei 2018
No comments:
Post a Comment