Monday, 30 July 2012

"Bersatu Mewujudkan Indonesia Ramah Anak" Upaya ditengah ketidakberdayaan Negara

(Rangkuman obrolan ringan terbatas Yayasan Gema Sadar Gizi menyambut Hari Anak 2012)

Jakarta-Gema Sadar Gizi (21 Juli 2012).  Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang di dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhknya. Anak juga merupakan tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara masa depan. Demikian Dr. Zaenal Abidin (Dewan Pembina Gema sadar Gizi dan Ketua Terpilih PB IDI) ketika mengantarkan obrolan ringan terbatas menyambut Hari Anak Nasional 2012, di sela menanti saat berbuka puasa, Ramadhan pertama di Bilangan Pancoran Jakarta.
Di dalam UU nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dikatakan, “perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkemban, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlidungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Tujuan perlidungan anak menurut undang-undang di atas adalah untuk menjamin hak-hak anak agar dapar hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.  Ungkap Zaenal.
Pada bagian kedua UU Perlindungan Anak, secara khusus telah tercantum perlindungan di bidang kesehatan. Pasal 44 ayat (1), “Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan”. Ayat (3), “Upaya kesehatan komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanakan kesehatan dasar maupun rujukan”.  Pasal 45 ayat (1), “Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan”. Ayat (2), “Dalam hal orang tua dan keluarga tidak mampu melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka pemerintah wajib memenuhinya”. Sementara pada Pasal 46 menyebutkan, “Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan”. Jika kita perhatikan pasal dan ayat-ayat UU ini, tampaknya tidak ada alasan bagi negara dalam hal ini pemerintah untuk tidak memperhatikan atau tidak melindungi anak bangsa yang diamanatkan kepadanya. Demikian Zaenal menutup pembicaraannya.
“Bersatu Mewujudkan Indonesia Ramah Anak”, demikian tema Hari Anak Nasional Indonesia tahun 2012 ini.  Semangat yang diusung oleh tema ini tentu sangat sejalan isi UU Perlidungan Anak di atas dan bahkan juga seiring dengan UU Nomor 36 tentang Kesehatan.  Pemaknaan kata-kata bersatu mewujudkan Indonesia yang ramah anak tentunya akan memunculkan banyak pandangan dan argumentasi. Namun jika tujuan akhirnya adalah agar anak Indonesia mendapatkan perlakuan yang baik dalam setiap perkembangannya tentunya kita harus menyimak beberapa kondisi yang fakta di Indonesia. Kata Dr. Mahesa Pranadipa, M.H. (Dewan Pengawas Gema Sadar Gizi) menyambung pernyataan  pembicara sebelumnya.
Menurut Mahesa yang juga dosen FK-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mulai dari tahap di kandungan, perlakuan “ramah” sudah harus dialami oleh calon anak Indonesia. WHO melaporkan bahwa 35-75% perempuan di Negara berkembang dan 18% perempuan di Negara maju mengalami anemia dalam masa kehamilan. Ibu hamil dengan anemia sebagian besar sekitar 62,3% berupa anemia defisiensi besi (ADB) (Wiknjosastro, 2005).  Sedangkan kita ketahui anemia pada saat kehamilan bisa berdampak tidak hanya kepada pertumbuhan janin namun dalam kondisi yang berat bisa menyebabkan kematian janin serta meningkatkan resiko kematian ibu pada saat melahirkan. Dari data SDKI tahun 2007 terdapat 34 angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup (Depkes,2010). Walaupun angka ini belum mencapai target MDGs yaitu di angka 20 per 1000 kelahiran hidup.
Menanjak ke level pertumbuhan selanjutnya yaitu masa balita, fakta di Indonesia masih memperlihatkan masalah besar. Almarhum Mantan Menteri Kesehatan Ibu Endang Rahayu Sedyaningsih pernah menyebutkan, Indonesia masuk dalam peringkat kelima Negara dengan kekurangan gizi se-dunia. Dimana jumlah balita yang mengalami kekurangan gizi sebanyak 900 ribu jiwa, yaitu sekitar 4,5% dari jumlah balita sebanyak 23 juta jiwa. Kasus kekurangan gizi anak balita di NTB masih tertinggi di Indonesia mencapai 30,5% (Depkes). Kata Dr. Fitri N Pulukadang (Pengurus Yayasan Gema Sadar Gizi).
Bahkan kata Fitri yang mengutip pernyataan Prof A Razak Thaha (Ahli Gizi Unhas Makassar dan Ketua Umum Perhimpunan Dokter Gizi Klinik IndonesiaI) di dalam suatu diskusi yang diadakan oleh Yayasan Gema Sadar Gizi yang mengemukakan bahwa dalam kurun waktu 3 tahun terakhir (2007-2010) anggaran untuk perbaikan gizi masyarakat terus meningkat, namun angka prevalensi penurunan gizi kurang hanya sedikit, yakni dari 18,4 persen di 2007 turun cuma menjadi 17,9 persen di 2010 yang berarti 3,7 juta balita yang kurang gizi. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 juga mencatat 35,7% anak Indonesia tergolong pendek akibat masalah gizi kronis, estimasi ada 7,3 juta anak Indonesia yang jadi pendek. Kini Indonesia menghadapai permasalahan baru berupa beban ganda gizi. Selain masalah gizi kurang yang masih banyak, Indonesia pun menghadapi ancaman gizi lebih (obesitas) pada anak. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010, prevalensi kegemukan pada anak balita secara nasional 14 persen, di mana pada penduduk kaya prevalensinya bisa mencapai 14,9 persen sedangkan pada penduduk miskin mencapai 12,4 persen.  Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara tercatat memiliki angka rata-rata prevalensi tertinggi, yakni 19,2 persen. Masalah ini semakin meningkat akibat pola diet tinggi karbohidrat dan lemak yang tidak disertai dengan aktivitas fisik yang memadai (aktivitas fisik yang kurang). Anak-anak Indonesia yang menderita kekurangan gizi dapat menyebabkan sering sakit, lesu, sering bolos, serta kurangnya daya tangkap dan kreativitas di sekolah. Implikasinya adalah kebodohan akan semakin merajalela. Asupan gizi ini memegang peran penting hingga terutama dimasa anak berusia dua tahun. Sebab pada saat inilah sel-sel otak berkembang pesat, dan 80% sudah saling terhubungan (interkoneksi). Inilah yang akan menentukan kecerdasannya. Jika pada masa ini asupan gizinya mengalami gangguan, seperti gizi buruk, perkembangan otak akan ikut terganggu.
Apa yang disampaikan oleh pembicara sebelumnya, itu baru berfokus kepada persoalan gizi yang sangat berperan kepada tumbuh kembang generasi penerus bangsa. Belum lagi ketika kita berbicara dampak paparan polusi terhadap perkembangan janin dan balita, sela Dr. Rosita Rivai (Sekretaris Yayasan Gema Sadar Gizi dan Wakil Sekjen PB IDI). Menurut Rosita, paparan polusi yang saat ini menjadi pembicaraan adalah paparan asap rokok. WHO, badan kesehatan dunia, bahkan memperkirakan hampir sekitar 700 juta anak atau sekitar setengah dari seluruh anak di dunia ini, termasuk bayi yang masih menyusu pada ibunya, terpaksa menghisap udara yang terpolusi asap rokok. ironisnya, hal itu justru lebih banyak di dalam rumah mereka sendiri. Tidak heran kemudian jumlah perokok anak usia 10-14 tahun naik hingga 6 kali lipat dalam 12 tahun, yaitu dari 71.126 anak pada 1995 menjadi 426.214 anak pada 2007 (Lembaga Demografi FEUI, 2010). Di tahun 2010 angkanya meningkat 19%.
Memang sesuatu yang ironi kata Rosita, sebab dengan sumber ekonomi terbatas, 63 % pria dewasa dari 20% penduduk miskin di Indonesia membelanjakan 12% penghasilan bulanannya untuk rokok, yang merupakan pengeluaran kedua setelah padi-padian. Data Susenas 2006 menunjukkan  pengeluaran untuk membeli rokok adalah 5 kali lebih besar dari pengeluaran untuk beli telur dan susu, dua kali lipa pengeluaran untuk ikan, dan !7 kali lipat pengeluaran untuk beli daging.
Dr. Tirta Prawaita Sari, MSc, Sp.GK  (Ketua Yayasan Gema Sadar Gizi), yang mendapat kesempatan bica terakhir, mengatakan anak sebagai investasi bangsa yang utama seringkali hanya berbatas pada slogan semata. Lingkungan kondusif yang merupakan prasyarat "bertumbuhnya" investasi ke arah tujuan bangsa ini tampaknya belum sepenuhnya tercipta. Anak tak jarang harus tumbuh dalam suasana serba kekurangan atau juga berkelebihan dalam konotasi negatif.
Sudah dipahami bersama, periode emas pertumbuhan anak adalah dimasa 1000 hari pertama kehidupan yang dihitung sejak awal pembuahan. Segala bentuk pertumbuhan jasmani dan perkembangan anak mencapai puncak maksimal di masa ini. Otak mengalami evolusi terbesarnya, demikian halnya pemahaman emosional anak. Banyak sikap dan kemampuan bahasa terbentuk di masa ini. Ibaratnya spons, maka otak anak menyerap segala informasi dengan kecepatan mengagumkan dibandingkan dengan usia lainnya. Sayangnya periode ini juga periode paling rentan dari seorang anak, sehingga sekali saja "kekacauan" terjadi maka terganggulah keseluruhan proses, investasi akan mengalami "penurunan" nilai. Anak tak tumbuh seperti yang diharapkan. Ungkap Tirta yang juga dosen Gizi Klinik FK Univ Muhammadiyah Jakarta ini.
Berfokus pada hal tersebut, lingkungan kondusif yang sepatutnya disiapkan harus mencakup "pengamanan" periode emas 1000 hari pertama tadi. Menarik menyikapi wacana cuti hamil selama 2 tahun yang dikeluarkan oleh Dahlan Iskan, bila menarik benang merah, harusnya ini kabar baik. Dua tahun yang sempurna bagi perkembangan anak tampaknya berusaha diwujudkan. Namun pada kenyataannya tak mendapat sambutan yang baik. Tak hanya semata dari kaum pria pelaku bisnis namun yang ironis justru dari kaum perempuan sendiri. Cukup menyedihkan, padahal yang sedang kita bicarakan adalah harapan "menumbuhkan" investasi bangsa semaksimal mungkin. Bukan hanya sebatas pada, maaf, waktu produktif wanita pekerja yang hilang, tapi tentang periode emas yang tak mungkin kembali. Seorang ibu menyusui membutuhkan tak hanya asupan gizi yang optimal, tapi juga suasana batin yang membuatnya nyaman saat menyusui. Menyusui bukan proses sederhana yg diterjemahkan dari asupan gizi saja, tapi ada kesadaran psikis dan dukungan emosional keluarga. Sehingga dapatlah dipahami, seorang ibu pekerja yang memiliki bayi, yang dalam kesehariannya diliputi stress di tempat kerja tak kan mampu menyusui bayi nya bila di rumah pun ia di desak oleh lingkungan rumah yang tak ramah secara fisik dan psikis. Air susu ibu tak-kan terproduksi dalam jumlah yang memadai, karena produksinya amatlah bergantung pada dua hal yang bersifat sinergis, psikis dan fisik yang sehat, dalam hal ini asupan gizi dan dukungan emosional dari keluarga. Sayangnya masyarakat yang cenderung kapitalis ini lupa pada kedua hal tersebut sehingga menempatkan ibu pekerja sama saja dengan layaknya pekerja lain. Padahal ibu sedang menjalankan fungsi menjaga investasi bangsa. Investasi milik kita semua, bukan semata miliknya, milik kita sebagai bangsa. Bayinya adalah bayi kita, bayi bangsa ini. Bangsa inilah rumah kita, sehingga siapapun yang sedang "berjuang" menjalankan fungsi eksklusif tersebut harus dilindungi. Sejalan dengan hal tersebut, maka beberapa hal penting menurut Tirta yang harus diperhatikan, sbb:
1). Memberikan lingkungan sehat dan kondusif, baik secara psikis dan fisik yang mencakup kebutuhan gizi dan dukungan emosional kepada ibu hamil sejak awal kehamilan hingga persalinannya untuk menjamin periode pertumbuhan janin yang optimal; 2). Mejamin keleluasaan ibu untuk dapat memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan lamanya dengan menjamin lingkungan yang bebas stress dan hal-hal yang mempengaruhi emosi ibu yang dapat menghambat proses pemberian ASI. Menjamin asupan nutrisi yang adekuat sebagai upaya dukungan fisik ibu agar produksi AsI memadai; 3). Mendukung rencana pemberian cuti hamil selama 9 ditambah dengan menyusui hingga setidaknya hingga 6 bulan serta menuntut penerapan PP No 33 thn 2012 mengenai pemberian ASI eksklusif (sebagai perintah Pasal 129 (2) UU No.36 Tentang Kesehatan 2009) khususnya pada kewajiban untuk memberikan keleluasaan bagi ibu untuk memberikan ASI eksklusif di tempat kerja; 4) .Menuntut lingkungan yang sehat dan kondusif bagi ibu dan anak agar dapat tumbuh sehat sejahtera dan berkembang menjadi aset bangsa yang terbaik; 5). Menjaga ibu dari diskriminasi di tempat kerja, dan segala sikap dan upaya yang menempatkan ibu pada dilema antara mengasuh anak secara optimal dan kewajiban dari tempat kerja yang menekan dan menyulitkan ibu dalam memberi kasih sayang pada anak.
 “Yayasan ini lebih mengharapkan seluruh komponen menjadi satu tim dalam pengentasan permasalahan yang terjadi pada anak Indonesia”, ungkap Mahesa ketika menutup obrolan Hari Anak Nasional 2012.

No comments:

Post a Comment