Thursday, 31 May 2012

Hari Tanpa Tembakau 31 Mei 2012


 
Sambutan Ketua Umum Terpilih PB. Ikatan Dokter Indonesia
Pada acara Deklarasi Koalisai Profesi Kesehatan (KPK) Anti Rokok


Sudah awam diketahui bahwa rokok mengandung lebih dari empat ribu zat yang dapat berdampak negatif bagi kesehatan umat manusia, diantaranya adalah bahan radioaktif (polonium-201), bahan cat (acetone), pencuci lantai (ammonia), racun serangga (DDT), racun anai-anai (arsenic), gas beracun (hydrogen cyanide) yang digunakan di “kamar gas maut” untuk hukuman mati serta zat rokok yang berbahaya lain seperti  Tar, Nikotin dan Karbon Monoksida.
Zat-zar beracun tersebut dapat menyebabkan berbagai gangguan terhadap organ tubuh mulai dari derajat ringan sampai berat. Gangguan itu seperti gangguan saluran pernapasan dan paru, gangguan pembuluh darah dan jantung, gangguan mulut dan saluran pencernaan, gangguan kehamilan dan janin, keganasan, kemandulan, dan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Berdasarkan hasil survei Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia tahun 2007, sebanyak 1.127 orang meninggal setiap hari akibat rokok di Indonesia. World Helth Report  tahun 2008 menjelaskan bahwa rokok menyumbang 5 juta kematian setiap tahunnya. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan ‘Swedish National Board of Health and Welfare’ serta ‘Bloomberg Philanthropies’, sebanyak 600 prokok pasif meninggal setiap tahunnya di seluruh dunia.
Data WHO (2008), Indonesia dinobatkan sebagai negara peringkat ketiga setelah China dan India, di atas Rusia dan Amerika Serikat, yaitu 27,6%  (28%) atau 65 juta perokok dengan mengkonsumsi sebanyak 225 miliar batang rokok per tahun, dimana jumlah prokok Indonesia terus meningkat dalam 9 tahun terakhir dengan pertumbuhan 0,9% per tahun pada periode 2000 – 2008 atau naik 18,6% selama kurun 5 tahun pada peride 2003 – 2008.
Sejalan dengan peningkatan jumlah perokok tersebut, produksi rokok hingga akhir tahun 2011 diperkirakan mampu menembus 248 miliar batang serta diperkirakan tidak kurang Rp.100 triliun dana masyarakat dikeluarkan untuk membelinya.
Selain itu, pemerintah Indonesia pun menargetkan cukai rokok pada tahun 2011 mencapai Rp. 60,1 triliun. Ini menunjukkan kenaikan dari perolehan cukai tahun 2009 yang mencapai Rp. 53,9 triliun. Di sisi lain sektor industri hasil tembakau (IHT) disebutkan mampu menyerap 6,1 juta orang. Masing-masing terdiri dari kalangan petani tembakau (sebanyak) 2 juta orang, petani cengkeh 1,5 juta, tenaga kerja pabrik rokok 600 ribu orang, pengecer dan pedagang asongan 1 juta, serta advertising, percetakan, dan jasa transportasi sebanyak 1 juta orang.
Kebiasaan mengkonsumsi tembakau ini tidak hanya berdampak negatif terhadap kesehatan, tetapi juga memiliki dampak bagi sektor ekonomi. Berdasarkan penelitian Kosen, dkk (2009)  menunjukkan bahwa kerugian ekonomi total penduduk Indonesia dalam setahun akibat konsumsi produk tembakau mencapai Rp.338,75 trilliun, atau lebih dari enam kali pendapatan cukai rokok pemerintah pada tahun 2009 yang hanya Rp. 53,9 trilliun.
Penelitian lain berkaitan dampak ekonomi rokok, dilakukan oleh Alimin Maidin, sebagaimana yang disampaikan dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar, 2011,  berjudul “Kerugian Ekonomi Akibat AIDS dan Rokok".  Alimin Maidin mengemukakan bahwa jumlah perokok di Kota Makassar mencapai 287.300 orang atau 22,1 % dari total penduduk, yang rata-rata mengkonsumsi 10,6 batang per hari. Hal ini berarti, ada 3 juta batang rokok yang dibakar setiap hari di kota Makassar. Bila harga per batang rokok Rp. 100,- maka biaya yang dikeluarkan oleh perokok di Kota Makassar mencapai Rp. 3 miliar perhari, sebulan mencapai Rp.90 miliar, dan  setahun mencapai Rp.1,08 triliun. Angka ini sama dengan 74 % PAD Kota Makassar tahun 2010, yang sebesar Rp.1,452 triliun. Atau bila dikonversi ke pembangunan rumah ibadah maka dapat disetarakan dengan 60 buah rumah ibadah ukuran 20 m x 30 m = 600 m2, yang “dibakar”setiap bulannya di  Kota Makassar. Dengan asumsi, biaya per meternya adalah Rp. 2,5 juta (Rp.1,5 miliar per unit rumah ibadah).
Memperhatikan besarnya kerugian ekonomi serta besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi dampak negatif tembakau terhadap kesehatan,  maka tidak ada pilihan lain bagi profesi kesehatan di Indonesia selain bersama-sama berjuang untuk sesuatu yang diyakini benar dan baik,  guna melindungi masyarakat dari dampak negatif akibat tembakau.
Oleh karena itu organisasi profesi kesehatan (IAI, IAKMI, IBI, IDI, PDGI, dan PPNI)  yang hari ini akan mendeklarasikan Koalisi Profesi Kesehatan (KPK) Anti Rokok, perlu melakukan upaya-upaya strategis baik ditujukan kepada masyarakat maupun kepada penentu/pengambil kebijakan.
Untuk masyarakat, menurut hemat kami, ada 3 upaya penanggulangan yang dapat dilakukan, yaitu upaya promotif dan preventif, upaya rehabilitatif, serta upaya kuratif. Sedangkan kepada penentu dan pengambil kebijakan, tak ada kata lain selain aktif melakukan advokasi mulai dari derajat rendah sampai derajat tinggi.
Upaya pertama; promotif dan preventif. Upaya ini harus lebih ditekankan mengingat karakteristik tembakau disamping banyak mengandung zat yang mengganggu kesehatan, juga karena tembakau merupakan zat adiktif yang menyebabkan pemakainya sangat sulit berhenti karena ketagihan. Upaya promotif dan preventif diarahkan semaksimal mungkin agar seseorang terutama, bayi, anak, dan remaja tidak terpapar oleh produk tembakau.
Kedua; kita harus menggalakkan upaya rehabilitatif. Upaya ini diarahkan kepada seseorang terutama anak muda/remaja yang sudah terlanjur ketagihan merokok untuk dipulihkan dari kondisi ketagihannya, sehingga dapat dicegah dari gangguan kesehatan yang amat serius akibat dampak negatif tembakau.
Ketiga; upaya kuratif terhadap seseorang yang sakit agar segera mendapatkan pertolongan dengan baik sehingga sakit yang timbul akibat rokok dapat disembuhkan atau paling tidak kondisi penyakitnya tidak semakin memburuk.
Selain upaya tersebut, kegiatan advokasi  pun mesti dilakukan secara bersinambung kepada pengambil dan penentu kebijakan (eksekutif dan legislatif) tanpa mengenal lelah. Misalnya mengadvokasi lahirnya peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif tembakau. Koalisi hendaknya melakukan advokasi dan kampanye terus-menerus berkaitan pengontrolan periklanan rokok, pengaturan area tanpa tembakau, pengaturan tempat penjualan rokok, pengaturan penjualan rokok eceran, pelarangan merokok terhadap anak dan remaja, pemberlakuan cukai tinggi terhadap rokok, dan lain sebagainya.
Pada akhirnya terpulang kepada kita semua, terutama Pemerintah Indonesia, sejauh mana ia beritkad baik untuk menyelamatkan generasi  bangsa dan kemudian menciptakan “Generasi Emas”, yang sehat dan cerdas.  Jika memang pemerintah bersungguh-sungguh ingin melindungi dan mewujudkan “Generasi Emas" bangsa, tentu sesegera mungkin meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), yang mana Indonesia sendiri ikut aktif mendeklarasikannya. Selanjutnya pemerintah pun tidak sepantasnya memiliki nilai “toleransi” atau nilai “mubah” terhadap suatu produk yang diketahui membahayakan kesehatan dan kehidupan umat manusia, sekalipun produk tersebut membawa manfaat ekonomi atau politik.
Mari kita terus belajar menepati komitmen dan kembali kepada prinsip, “mencegah penyakit lebih baik dari pada mengobati”.


No comments:

Post a Comment