Sambutan Ketua Umum Terpilih PB.
Ikatan Dokter Indonesia
Pada acara
Deklarasi Koalisai Profesi Kesehatan (KPK) Anti Rokok
Sudah
awam diketahui bahwa rokok mengandung lebih dari empat ribu zat yang dapat
berdampak negatif bagi kesehatan umat manusia, diantaranya adalah bahan
radioaktif (polonium-201), bahan cat
(acetone), pencuci lantai (ammonia), racun serangga (DDT), racun
anai-anai (arsenic), gas beracun (hydrogen cyanide) yang digunakan di
“kamar gas maut” untuk hukuman mati serta zat rokok yang berbahaya lain seperti Tar, Nikotin dan Karbon Monoksida.
Zat-zar
beracun tersebut dapat menyebabkan berbagai gangguan terhadap organ tubuh mulai
dari derajat ringan sampai berat. Gangguan itu seperti gangguan saluran
pernapasan dan paru, gangguan pembuluh darah dan jantung, gangguan mulut dan
saluran pencernaan, gangguan kehamilan dan janin, keganasan, kemandulan, dan
bahkan dapat menimbulkan kematian.
Berdasarkan
hasil survei Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia tahun 2007, sebanyak
1.127 orang meninggal setiap hari akibat rokok di Indonesia. World Helth Report tahun 2008 menjelaskan bahwa rokok menyumbang
5 juta kematian setiap tahunnya. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan ‘Swedish National Board of Health and
Welfare’ serta ‘Bloomberg
Philanthropies’, sebanyak 600 prokok pasif meninggal setiap tahunnya di
seluruh dunia.
Data
WHO (2008), Indonesia dinobatkan sebagai negara peringkat ketiga setelah China
dan India, di atas Rusia dan Amerika Serikat, yaitu 27,6% (28%) atau 65 juta perokok dengan
mengkonsumsi sebanyak 225 miliar batang rokok per tahun, dimana jumlah prokok
Indonesia terus meningkat dalam 9 tahun terakhir dengan pertumbuhan 0,9% per tahun
pada periode 2000 – 2008 atau naik 18,6% selama kurun 5 tahun pada peride 2003
– 2008.
Sejalan
dengan peningkatan jumlah perokok tersebut, produksi rokok hingga akhir tahun
2011 diperkirakan mampu menembus 248 miliar batang serta diperkirakan tidak
kurang Rp.100 triliun dana masyarakat dikeluarkan untuk membelinya.
Selain
itu, pemerintah Indonesia pun menargetkan cukai rokok pada tahun 2011 mencapai
Rp. 60,1 triliun. Ini menunjukkan kenaikan dari perolehan cukai tahun 2009 yang
mencapai Rp. 53,9 triliun. Di sisi lain sektor industri hasil tembakau (IHT)
disebutkan mampu menyerap 6,1 juta orang. Masing-masing terdiri dari kalangan
petani tembakau (sebanyak) 2 juta orang, petani cengkeh 1,5 juta, tenaga kerja
pabrik rokok 600 ribu orang, pengecer dan pedagang asongan 1 juta, serta
advertising, percetakan, dan jasa transportasi sebanyak 1 juta orang.
Kebiasaan
mengkonsumsi tembakau ini tidak hanya berdampak negatif terhadap kesehatan,
tetapi juga memiliki dampak bagi sektor ekonomi. Berdasarkan penelitian Kosen,
dkk (2009) menunjukkan bahwa kerugian
ekonomi total penduduk Indonesia dalam setahun akibat konsumsi produk tembakau
mencapai Rp.338,75 trilliun, atau lebih dari enam kali pendapatan cukai rokok
pemerintah pada tahun 2009 yang hanya Rp. 53,9 trilliun.
Penelitian
lain berkaitan dampak ekonomi rokok, dilakukan oleh Alimin Maidin, sebagaimana
yang disampaikan dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar, 2011, berjudul “Kerugian Ekonomi Akibat AIDS dan
Rokok". Alimin Maidin mengemukakan
bahwa jumlah perokok di Kota Makassar mencapai 287.300 orang atau 22,1 % dari
total penduduk, yang rata-rata mengkonsumsi 10,6 batang per hari. Hal ini
berarti, ada 3 juta batang rokok yang dibakar setiap hari di kota Makassar.
Bila harga per batang rokok Rp. 100,- maka biaya yang dikeluarkan oleh perokok
di Kota Makassar mencapai Rp. 3 miliar perhari, sebulan mencapai Rp.90 miliar,
dan setahun mencapai Rp.1,08 triliun. Angka
ini sama dengan 74 % PAD Kota Makassar tahun 2010, yang sebesar Rp.1,452
triliun. Atau bila dikonversi ke pembangunan rumah ibadah maka dapat
disetarakan dengan 60 buah rumah ibadah ukuran 20 m x 30 m = 600 m2, yang
“dibakar”setiap bulannya di Kota Makassar.
Dengan asumsi, biaya per meternya adalah Rp. 2,5 juta (Rp.1,5 miliar per unit
rumah ibadah).
Memperhatikan
besarnya kerugian ekonomi serta besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk
mengatasi dampak negatif tembakau terhadap kesehatan, maka tidak ada pilihan lain bagi profesi
kesehatan di Indonesia selain bersama-sama berjuang untuk sesuatu yang diyakini
benar dan baik, guna melindungi
masyarakat dari dampak negatif akibat tembakau.
Oleh
karena itu organisasi profesi kesehatan (IAI, IAKMI, IBI, IDI, PDGI, dan PPNI) yang hari ini akan mendeklarasikan Koalisi
Profesi Kesehatan (KPK) Anti Rokok, perlu melakukan upaya-upaya strategis baik
ditujukan kepada masyarakat maupun kepada penentu/pengambil kebijakan.
Untuk
masyarakat, menurut hemat kami, ada 3 upaya penanggulangan yang dapat dilakukan,
yaitu upaya promotif dan preventif, upaya rehabilitatif, serta upaya kuratif.
Sedangkan kepada penentu dan pengambil kebijakan, tak ada kata lain selain aktif
melakukan advokasi mulai dari derajat rendah sampai derajat tinggi.
Upaya
pertama; promotif dan preventif. Upaya ini harus lebih ditekankan mengingat
karakteristik tembakau disamping banyak mengandung zat yang mengganggu
kesehatan, juga karena tembakau merupakan zat adiktif yang menyebabkan
pemakainya sangat sulit berhenti karena ketagihan. Upaya promotif dan preventif
diarahkan semaksimal mungkin agar seseorang terutama, bayi, anak, dan remaja
tidak terpapar oleh produk tembakau.
Kedua; kita harus menggalakkan
upaya rehabilitatif. Upaya ini diarahkan kepada seseorang terutama anak
muda/remaja yang sudah terlanjur ketagihan merokok untuk dipulihkan dari
kondisi ketagihannya, sehingga dapat dicegah dari gangguan kesehatan yang amat
serius akibat dampak negatif tembakau.
Ketiga; upaya kuratif terhadap
seseorang yang sakit agar segera mendapatkan pertolongan dengan baik sehingga
sakit yang timbul akibat rokok dapat disembuhkan atau paling tidak kondisi
penyakitnya tidak semakin memburuk.
Selain
upaya tersebut, kegiatan advokasi pun
mesti dilakukan secara bersinambung kepada pengambil dan penentu kebijakan
(eksekutif dan legislatif) tanpa mengenal lelah. Misalnya mengadvokasi lahirnya
peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk melindungi masyarakat dari
dampak negatif tembakau. Koalisi hendaknya melakukan advokasi dan kampanye terus-menerus
berkaitan pengontrolan periklanan rokok, pengaturan area tanpa tembakau, pengaturan
tempat penjualan rokok, pengaturan penjualan rokok eceran, pelarangan merokok
terhadap anak dan remaja, pemberlakuan cukai tinggi terhadap rokok, dan lain sebagainya.
Pada
akhirnya terpulang kepada kita semua, terutama Pemerintah Indonesia, sejauh
mana ia beritkad baik untuk menyelamatkan generasi bangsa dan kemudian menciptakan “Generasi Emas”, yang sehat dan cerdas. Jika memang pemerintah bersungguh-sungguh ingin
melindungi dan mewujudkan “Generasi Emas" bangsa, tentu sesegera mungkin
meratifikasi FCTC (Framework Convention
on Tobacco Control), yang mana Indonesia sendiri ikut aktif
mendeklarasikannya. Selanjutnya pemerintah pun tidak sepantasnya memiliki nilai
“toleransi” atau nilai “mubah” terhadap suatu produk yang
diketahui membahayakan kesehatan dan kehidupan umat manusia, sekalipun produk
tersebut membawa manfaat ekonomi atau politik.
Mari
kita terus belajar menepati komitmen dan kembali kepada prinsip, “mencegah penyakit
lebih baik dari pada mengobati”.
No comments:
Post a Comment