Monday, 26 May 2014

MEDIA DAN BANGUNAN KESEHATAN KITA



Media dan Bangunan Kesehatan Kita[1]
Oleh: Dr. Rosita Rivai[2]

Media adalah Senjata
“Barangsiapa yang menguasai informasi, maka ia akan menguasai dunia”. Idiom ini telah didengungkan sejak lama dan saat ini semakin mendapatkan pembenarannya. Lihat saja, orang-orang berpengaruh dunia dan juga di Indonesia diisi oleh orang-orang yang mampu menguasai media atau minimal memiliki kedekatan dengan para pemilik media. Para penguasa di tingkatan masing-masing juga mau tidak mau harus mendekati para pemilik media agar dapat mengendalikan informasi sehingga menguntungkan dan dapat melanggengkan kekuasaannya. Bahkan saat ini, para pemilik media sudah pula terjun ke dunia politik sehingga opini publik dengan mudah dapat diarahkan untuk kepentingan politik pemilik media.
Dalam kondisi ideal, kepemilikan media seharusnya tidak mempengaruhi bagaimana sebuah media memproduksi berita dan pemberitaan. Jurnalistik memiliki hukum dan aturan yang jelas. Bill Kovach dan Tom Rosentiels memberikan prinsip utama dalam aktifitas jurnalisme[3]:
1.        Kewajiban utama jurnalisme adalah pencari kebenaran.
Dalam kerangka filosofis kebenaran absolut selalu menjadi perdebatan yang sangat serius, namun bukan kebenaran ini yang dimaksudkan, melainkan kebenaran dalam pengertian praktis, yakni proses yang dimulai dengan disiplin profesional dalam pengumpulan dan verifikasi berita. Inilah yang disebut kebenaran jurnalistik (journalistic truth). Jurnalis sejatinya harus selalu transparan mengenai sumber-sumber dan metode yang dipakai dalam pengumpulan berita. Sehingga audience dapat menilai sendiri mengenai informasi yang disajikan.
2.       Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat.
Jurnalis harus menyajikan berita dengan tanpa memihak. Ia harus memelihara kesetaraan kepada masyarakat dengan cara menyajikan berita dengan tanpa dipengaruhi oleh kepentingan tertentu, misalnya pengiklan. Ini dilakukan demi kepentingan yang lebih luas, yakni masyarakat.
3.       Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
Jurnalis harus menggunakan disiplin dalam melakukan verifikasi berita. Dislipin dalam verifikasi mampu membuat jurnalis menyaring gosip, ingatan yang parsial atau keliru, manipulasi, desas-desus, dan sebagainya guna mendapatkan informasi yang akurat. Nantinya, disiplin ini mampu membedakan berita ala jurnalis dengan hiburan, propaganda, fiksi, dan opini. Pekerjaan seperti mencari saksi, menyingkap berbagai sumber, mencari komentar dengan berbagai pihak mensyaratkan kerja-kerja profesionalitas. Dengan adanya disiplin verifikasi, narasumber fiktif tidak akan terjadi. Selain itu, disiplin verifikasi memperjelas batas antara fiksi dan karya jurnalistik.
4.      Jurnalis harus menjaga independensi dari objek sumber beritanya.
Kebebasan adalah syarat utama dari jurnalisme. Jurnalis harus memposisikan dirinya sebagai orang netral yang terbebas dari tekanan atau kepentingan apapun. Walaupun komentator memiliki subjektifitas, tetapi kredibilitas jurnalis tetap yang menjunjung tinggi akurasi dan kejujuran intelektual.
5.       Jurnalis mengemban tugas yang bebas sebagai pemantau terhadap kekuasaan.
Jurnalis adalah pemantau independen terhadap kekuasaan. Prinsip ini sangat menekankan peran penjaga (watchdog). Peran ini harus selalu dijaga. Jurnalis tidak boleh menyelewengkannya. Misalkan dengat memanfaatkannya untuk kepentingan komersial partai.
6.      Jurnalis harus menyediakan forum untuk kritik dan komentar publik.
Ruang diskusi inilah bentuk-bentuk akomodatif jurnalis kepada masyarakat. Berbagai pandangan dan kepentingan dalam masyarakat harus terwakili dengan baik. Karena, seorang jurnalis tidak selamanya benar dalam menyampaikan kebenaran, meskipun hal itu kewajiban. Karena itu seorang waratawan yang bertanggung jawab, juga harus mendengarkan apa keinginan publik dan mampu menerima kritik.
7.       Jurnalis harus berusaha membuat yang penting menjadi menarik dan relevan.
Jurnalisme adalah bercerita dengan suatu tujuan. Jurnalisme lebih dari sekedar mengumpulkan audience atau mengumpulkan daftar penting. Jurnalis harus membuat sesuatu yang penting menjadi menarik. Kualitasnya diukur dari sebanyak keterlibatan audience dalam menyoroti peristiwa. Berita yang dibuat oleh jurnalis jangan sampai membosankan pembaca dan jangan sampai berita yang penting menjadi tidak penting karena pembaca bosan.
8.      Jurnalis harus menjaga agar berita itu proporsional dan komprehensif.
Prinsip di sini adalah jurnalisme sebagai sebuah bentuk kartogafi yang mampu memetakan arah dalam masyarakat. Pemberitaan harus dilakukan secara proporsional dengan tidak menghilangkan hal-hal yang penting. Apalagi kalau hanya untuk melambungkan sensasi.
9.      Jurnalis memiliki kewajiban utama terhadap suara hatinya.
Setiap jurnalis harus memiliki rasa etik dan tanggung jawab. Ketika rasa moral kita memaksa untuk berbicara keadilan, maka ia punya kewajiban moral untuk berbicara di ruang-ruang redaksi maupun eksklusif walaupun berbeda dengan rekan.
Dalam perkembangan lebih lanjut, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menambahkan elemen ke sepuluh:
10.   Warga juga memiliki hak dan tanggungjawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita.
Elemen terbaru ini muncul dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet. Warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga menciptakan media sendiri. Ini terlihat dari munculnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism), jurnalisme komunitas (community journalism) dan media alternatif. Warga dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan sebagainya, dan dengan demikian juga mendorong perkembangan jurnalisme.
Dengan sepuluh prinsip dan aturan diatas, ditambah kelengkapan infrastruktur masyarakat maupun yang disediakan negara seperti Depkominfo, Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, maupun asosiasi-asosiasi jurnalis, sepertinya kondisi ideal dapat lebih didekati. Tapi dinamika yang terjadi di luar ruang redaksi seringkali membuat independensi jurnalis terganggu. Contoh kasus yang terjadi adalah “kewajiban” para pegawai MNC Group (termasuk para jurnalis tentunya) untuk menghadiri kampanye Partai HANURA, dan juga kasus marahnya Anindya Bakrie terhadap dimuatnya iklan Jokowi di VivaNews.
Namun demikian, melalui pendekatan politik ekonomi media, kita dapat menjelaskan bagaimana kepemilikan media mengendalikan isi media. Pendekatan politik ekonomi media berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. Faktor seperti pemilik media, modal, dan pendapatan media dianggap lebih menentukan bagaimana wujud isi media. Faktor-faktor inilah yang menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta kearah mana kecenderungan pemberitaan sebuah media hendak diarahkan (Sudibyo, 2001:2). Dalam pendekatan politik ekonomi media, kepemilikan media (media ownership) mempunyai arti penting untuk melihat peran, ideologi, konten media dan efek yang ditimbulkan media kepada masyarakat.
Dalam pengertian yang lebih sederhana, Moscow berpendapat bahwa ekonomi politik adalah hubungan kekuasaan (politik) dalam sumbersumber ekonomi yang ada di masyarakat[4]. Bila seseorang atau sekelompok orang dapat mengontrol masyarakat berarti dia berkuasa secara de facto, walaupun de jure tidak memegang kekuasaan sebagai eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pandangan Moscow tentang penguasa lebih ditekankan pada penguasa dalam arti de facto, yaitu orang atau kelompok orang yang mengendalikan kehidupan masyarakat. Jika memang demikian, maka kekuasaan pemilik media, meski secara etik dibatasi dan secara normatif disangkal, bukan saja memberi pengaruh pada konten media, namun juga memberikan implikasi logis kepada masyarakat selaku audiens. Pemberitaan media menjadi tidak bebas lagi, muatannya kerap memperhitungkan aspek pasar dan politik.
Dengan demikian, media dapat menjadi senjata yang sangat ampuh untuk mencapai tujuan apapun, baik itu untuk memberikan manfaat kepada masyarakat, maupun untuk mencapai tujuan ekonomi maupun politik pemilik media beserta kawan-kawannya. Dalam konteks Indonesia, Chaerul Tanjung, Aburizal Bakrie, Harry Tanusudibyo, dan Surya Paloh adalah contoh yang sangat gamblang betapa kepentingan ekonomi dan politik sangat dapat diperoleh dengan kepemilikan media.

Pentingnya Perspektif dalam Media
”Media adalah senjata, dan berita adalah amunisi”. Barangkali idiom inilah yang dapat menjadi jawaban atas kepemilikan media oleh orang-orang yang menggunakannya bukan untuk kepentingan masyarakat. Kita memang belum dapat menggugat kepemilikan media yang terpusat pada orang-orang tertentu, tapi kita dapat menjejali ruang publik dengan berita-berita yang berkualitas dan sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik yang sehat. Perkembangan teknologi informasi maupun teknologi percetakan sejauh ini dapat memberikan kemudahan kepada semua orang untuk memiliki “media” sendiri. Mulai dari situs-situs sosial media yang saat ini menjamur seperti facebook, twitter, path, linkedIn, maupun blog dan situs-situs pribadi yang dapat dengan mudah dibuat dan disebarkan ke seluruh dunia, setiap orang sekarang dapat bercerita dan berteriak mengenai apapun yang ada dalam kepalanya.
Namun, kemudahan ini pula yang kemudian menimbulkan arus balik berupa keriuhan dalam ruang publik. Karena banyaknya suara, maka timbul kebisingan sehingga masyarakat menjadi bingung memilih suara mana yang akan didengarkan. Semua suara berlomba-lomba menjadi yang terbesar dan berdesak-desakan untuk menjadi yang didengarkan. Pada akhirnya, masyarakat kemudian memilih untuk berpaling pada media-media mainstream yang sudah lebih dulu ada dan established. Hal ini adalah reaksi normal ketika masyarakat diperhadapkan dengan kebisingan, maka mereka akan memilih yang suaranya lebih teratur. Media mainstream lebih teratur suaranya karena mereka sudah memiliki perspektif pemberitaan.
Perspektif adalah cara pandang kita mengenai sesuatu. Cara pandang tentu akan mempengaruhi bagaimana kita menafsirkan sebuah peristiwa dan juga bagaimana cara kita bercerita tentang peristiwa tersebut. Contohnya adalah jika terjadi perkosaan. Sebagian akan menganggap bahwa perkosaan itu terjadi karena kesalahan korban (entah karena pakaian ataupun karena tidak mampu mempertahankan diri), tapi sebagian lain akan melihat bahwa pelaku memang sepenuhnya bertanggung jawab atas perbuatannya tanpa dipengaruhi oleh lingkungan apapun. Perspektif ini akan terbawa saat seseorang bercerita mengenai peristiwa perkosaan. Jika yang bercerita adalah jurnalis atau jurnalis, maka berita yang termuat dalam media akan memuat pula pesan terselubung yang bernama perspektif tersebut.
Persoalan perspektif sangat berkaitan erat dengan pengetahuan si pembawa berita. Kita semua tentu mafhum bahwa cerita seorang anak kecil akan berbeda dengan cerita seorang mahasiswa. Cerita seseorang yang memiliki pengetahuan tentang sebab-sebab kekerasan akan berbeda dengan cerita orang lain yang hanya melihat kekerasan sebagai kekerasan semata dan tidak bergantung pada kondisi lainnya. Dalam kasus Dr. Ayu dkk di Rumah Sakit Umum Menado, persoalan perspektif juga sangat mempengaruhi pemberitaan. Kebanyakan media hanya melihat sisi meninggalnya pasien sebagai kelalaian tim dokter semata. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan jurnalis penulis berita mengenai kondisi-kondisi khusus yang mempengaruhi proses tindakan medic yang dilakukan. Yang terjadi kemudian adalah masyarakat ikut menghakimi Dr. Ayu dan sejawat praktisi kesehatan lain sebagai orang yang lalai dalam melaksanakan tugas. Maka bermunculan lah berbagai berita mengenai malpraktik kedokteran yang seakan memperkuat dugaan malpraktik meskipun berasal dari kasus yang berbeda. PB IDI kemudian berinisiatif membawa kasus ini ke ruang publik untuk memancing pemberitaan dan coverage media yang lebih besar, membahas permasalahan ini secara lebih mendalam berdasar UU Praktik Kedokteran dan juga kondisi khusus yang terjadi pada tindakan medis dimaksud. Barulah kemudian perpektif kedokteran dan praktik kesehatan menjadi muatan dalam pemberitaan sehingga masyarakat dapat melihat kasus ini secara lebih objektif.
Kasus ini memberikan pelajaran bahwa perspektif sangat dibutuhkan dalam membuat berita yang berkualitas dan berimbang. Adalah sangat tidak adil jika membiarkan jurnalis dengan pengetahuan praktik kesehatan tidak memadai untuk menyajikan berita mengenai praktik kesehatan yang lebih kompleks. Untuk itu, para praktisi kesehatan yang memiliki pengetahuan khusus mengenai praktik kesehatan harus mulai memikirkan bagaimana cara memanfaatkan media yang ada untuk memberikan berita yang lebih berimbang dan berkualitas mengenai praktik kesehatan kepada masyarakat. Masyarakat kita berhak untuk mendapatkan informasi praktik kesehatan yang berkualitas.
Media dan Bangunan Kesehatan Kita
Memasuki 106 tahun kiprah dokter di Indonesia, banyak yang sudah terjadi. Banyak hal yang seharusnya menjadi concern para dokter maupun lembaga profesinya. Political will pemerintah pusat maupun daerah dalam menjalankan kebijakan kesehatan sesuai yang diamanahkan dalam UUD 1945 pasal 28H ayat (1), yang menjamin hak warganya untuk sehat: ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.  Sedangkan pada Pasal 34 (ayat 3) UUD 1945  dikatakan: "Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak", masih belum memenuhi harapan[5].
Selain dari segi pelayanan, segi pembiayaan pun juga menjadi masalah karena tidak adekuatnya anggaran kesehatan. Rilis yang dikeluarkan oleh Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran pada 19 September 2012 menyatakan bahwa sejak 2005-2013, rata-rata anggaran kesehatan hanya dialokasikan 2% dari belanja APBN. Hal ini tidak sesuai dengan amanat UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 171.
Saat ini dirasakan bahwa hasil-hasil pembangunan nasional bidang kesehatan belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari indikator atas capaian Human Development Index dan capaian atas Millenium Development Goals yang kurang menggembirakan. Ketidakoptimalan ini selain disebabkan oleh semakin besarnya tantangan dari lingkungan strategis yang ada, baik secara nasional regional maupun internasional, juga dapat dilihat dari perspektif bahwa saat ini kesungguhan dalam menjalankan paradigma nasional masih belum sesuai harapan. Untuk itu, permasalahannya adalah bagamana memahami lebih lanjut implementasi paradigma nasional dalam bidang kesehatan menuju tercapainya Indonesia sehat sebagaimana diharapkan. HDI Indonesia masih rendah dengan angka harapan hidup hanya 69,8 tahun menurun dibandingkan pada tahun 2006 yaitu 70,1 tahun, serta buruknya tingkat gizi di beberapa wilayah (prevalensi gizi buruk berstatus sangat tinggi) yang  pula oleh buruknya peringkat IPM daerah tersebut perlu mendapat perhatian semua pihak.
Potret bangunan kesehatan sebagaimana terlihat dalam uraian diatas tentu sangat memprihatinkan dan selayaknya menjadi perhatian semua pihak. Baik dalam skala nasional maupun regional, permasalahan pembangunan kesehatan harus menjadi perhatian pemerintah maupun masyarakat umum karena kesehatan adalah kebutuhan dasar setiap orang yang harus dipenuhi.
Dalam mengadvokasi masalah kesehatan ini, media kemudian memegang peranan penting. Media seharusnya dapat memberitakan mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang kesehatan dengan perpektif dunia kesehatan pula; UU dan aturan-aturan yang mengatur pemenuhan hak masyarakat atas hidup yang sehat. Media seharusnya dapat menyoroti ketidakberimbangan penggunaan APBN dan APBD sehingga sector kesehatan tidak menjadi hal yang diutamakan oleh pemerintah. Media seharusnya dapat memaksa pemerintah dan semua pihak yang berkepentingan untuk memenuhi hak-hak kesehatan masyarakat melalui pembentukan opini publik yang pada akhirnya akan menggerakkan masyarakat untuk menuntut hak-hak mereka. Media seharusnya mencerdaskan masyarakat; membuka wacana dan pemahaman masyarakat atas apa yang berhak mereka dapatkan tapi tidak diberikan oleh pemerintah.
Untuk memenuhi tugas jurnalisme dan media ini, masyarakat seharusnya tidak lagi dalam pihak yang menunggu saja. Sebagaimana disebutkan dalam prinsip ke-sepuluh jurnalisme diatas, masyarakat luas juga memiliki hak dan tanggungjawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita. Masyarakat, dalam hal ini para praktisi kesehatan, seharusnya mampu memberikan berita dengan perpektif kesehatan kepada para penulis berita dan juga media. Praktisi kesehatan dalam hal ini dapat menyediakan jalur bagi media untuk bisa mendapatkan berita dengan perspektif kesehatan. Atau dapat juga dengan cara lain; para praktisi kesehatan menyediakan media sendiri yang memberikan berita mengenai pembangunan kesehatan dengan perspektif kesehatan tentunya.
Apapun cara yang dipilih, para praktisi kesehatan tidak boleh buta dunia jurnalisme. Yang manapun cara yang dipilih, praktisi kesehatan harus membina media relations yang baik dengan personal-personal kunci media-media. Beberapa saran yang dapat membantu dalam pemanfaatan media adalah sebagai berikut:
1.        Pelajari teknik jurnalisme yang baik
Jurnalisme yang baik tidak hanya agar berita yang dimuat sesuai dengan kaidah yang berlaku, tetapi juga mendidik masyarakat agar hanya menerima produk jurnalisme yang sehat. Dengan senantiasa memberika produk jurnalisme yang sehat, maka masyarakat akan terbiasa dan kemudian tidak lagi mengkonsumsi produk-produk jurnalisme abal-abal.
Jurnalisme yang baik tentu tidak hanya membutuhkan kemampuan menulis, tapi juga membutuhkan kapasitas untuk membaca dan terus menambah pengetahuan. Dengan bekal pengetahuan yang cukup, maka kita akan bisa menulis dengan lebih baik.
Jurnalisme yang baik juga membutuhkan latihan, tidak akan terbentuk dalam semalam. Sarana latihan kiranya sudah cukup banyak; blog, facebook, twitter, path, dan situs-situs lainnya. Tentu saja dalam latihan kita harus terbuka dengan segala macam kritik dan sanggahan.
Terakhir, jurnalisme yang baik memerlukan kejelian dalam memilih kata, diksi, dan gaya bahasa. Agar menarik, sebuah berita tentu berbeda penulisan dan bahasanya dibanding sebuah press release atau pernyataan sikap.
2.       Bangun media relation yang kokoh
Media relation diperlukan agar apa yang ingin kita sampaikan dapat mudah diberitakan oleh media lain. Walaupun kita telah memiliki memiliki media sendiri, kita tetap akan membutuhkan media lain untuk memperbesar efek pemberitaan. Dalam media relation, yang harus diutamakan adalah hubungan personal dengan tokoh kunci pemberitaan di setiap media. Yang paling baik adalah jika berhubungan baik dengan redaktur, karena kita dapat langsung menghubungi jika kita butuh coverage pemberitaan di media miliknya.
3.       Pergunakan media sosial dengan bijak
Media sosial terbukti menjadi salah satu sarana untuk menyampaikan pendapat. Media sosial seperti facebook, twitter, dan path juga dapat dipergunakan untuk menyebarkan berita yang ada di media utama kita. Untuk itu, para praktisi kesehatan sebaiknya memiliki media sosial masing-masing, agar dapat saling menguatkan bila mengangkat isu tertentu. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa media sosial tidak dapat menampung seluruh informasi. Sebaiknya media sosial hanya menjadi jembatan agar masyarakat mau mengunjungi situs atau media utama yang memuat berita lebih lengkap. Untuk itu, harus dijaga agar tidak terlalu banyak link berita yang disebarkan setiap hari melalui media sosial; pilihlah isu yang benar-benar menarik setiap harinya. Hindari juga untuk berdebat di media sosial seperti twitter karena keterbatasan karakter yang dapat ditampung akan mereduksi pemahaman akan informasi. Sebaiknya setiap perdebatan diarahkan ke situs atau media utama saja.
4.      Gunakan teknik komunikasi dalam membuat media
Dalam ilmu komunikasi ada kaidah; Who-What-Channel-Whom-Effect. Kaidah ini dapat diartikan secara bebas; Siapa(Who) mengatakan Apa(What) melalui Saluran(Channel) yang mana kepada Siapa(Whom) untuk mendapatkan Efek(Effect) seperti apa. Secara singkat, kita harus memilih apa efek yang kita inginkan terhadap target pembaca dengan media yang kita punyai. Jika hanya untuk menyebar isu asal-asalan kepada masyarakat dengan tingkat kecerdasan rendah, tentu saluran yang kita pakai bukanlah internet. Jika efek yang kita inginkan adalah pencerahan dengan sasaran masyarakat yang cukup cerdas, pemilihan internet akan lebih baik. Apa yang kita beritakan, gaya bahasa yang digunakan, juga harus sesuai dengan saluran, target pembaca, dan juga efek yang diinginkan. Begitu juga, personal yang memberikan pernyataan dalam media juga harus orang yang sesuai dan dikenal oleh target pembaca. Kaidah ini harus dipertimbangkan sebelum kita memutuskan untuk membuat sebuah media.
Penutup
Pembangunan di bidang apapun tidak akan pernah lepas dari pengaruh media, termasuk juga pembangunan kesehatan. Media adalah senjata yang dapat dipergunakan baik untuk kemaslahatan masyarakat maupun untuk kepentingan pribadi semata. Karena itu, setiap orang sedianya bertanggung jawab dalam memberitakan kondisi yang terjadi dan kemudian mengajak seluruh masyarakat untuk ikut terlibat dalam membangun peradaban yang lebih baik. Pelatihan kali ini kiranya sangat penting untuk membekali kita semua dengan kemampuan memberitakan agar apa yang ingin kita sampaikan dapat mencapai target dengan baik. Semoga para lulusan dari training ini dapat memanfaatkan ilmu yang didapatnya hari ini dengan baik. Mengutip apa yang sering kita teriakkan semasa mahasiswa dulu; “Jangan pernah diam melihat kedzaliman, karena diam adalah pengkhianatan!”
Billahittaufiq wal hidaayah..


[1] Disampaikan pada Workshop Jurnalistik Kesehatan se-Kalimantan Barat oleh IDI Kalimantan Barat dan Forum Pemuda Kalimantan Barat, tanggal 24 Mei 2014, di Pontianak.
[2] Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Periode 2012-2015
[4] Vincent Moscow. 1998. The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal. University of Winconsin Press. Hal. 25.

No comments:

Post a Comment