Media
dan Bangunan Kesehatan Kita[1]
Oleh: Dr. Rosita Rivai[2]
Media
adalah Senjata
“Barangsiapa
yang menguasai informasi, maka ia akan menguasai dunia”. Idiom ini telah
didengungkan sejak lama dan saat ini semakin mendapatkan pembenarannya. Lihat
saja, orang-orang berpengaruh dunia dan juga di Indonesia diisi oleh
orang-orang yang mampu menguasai media atau minimal memiliki kedekatan dengan
para pemilik media. Para penguasa di tingkatan masing-masing juga mau tidak mau
harus mendekati para pemilik media agar dapat mengendalikan informasi sehingga
menguntungkan dan dapat melanggengkan kekuasaannya. Bahkan saat ini, para
pemilik media sudah pula terjun ke dunia politik sehingga opini publik dengan
mudah dapat diarahkan untuk kepentingan politik pemilik media.
Dalam kondisi ideal, kepemilikan media
seharusnya tidak mempengaruhi bagaimana sebuah media memproduksi berita dan
pemberitaan. Jurnalistik memiliki hukum dan aturan yang jelas. Bill Kovach dan
Tom Rosentiels memberikan prinsip utama dalam aktifitas jurnalisme[3]:
1.
Kewajiban
utama jurnalisme adalah pencari kebenaran.
Dalam kerangka filosofis kebenaran
absolut selalu menjadi perdebatan yang sangat serius, namun bukan kebenaran ini
yang dimaksudkan, melainkan kebenaran dalam pengertian praktis, yakni proses
yang dimulai dengan disiplin profesional dalam pengumpulan dan verifikasi
berita. Inilah yang disebut kebenaran jurnalistik (journalistic truth). Jurnalis
sejatinya harus selalu transparan mengenai sumber-sumber dan metode yang
dipakai dalam pengumpulan berita. Sehingga audience dapat menilai sendiri
mengenai informasi yang disajikan.
2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah
kepada masyarakat.
Jurnalis harus menyajikan berita
dengan tanpa memihak. Ia harus memelihara kesetaraan kepada masyarakat dengan
cara menyajikan berita dengan tanpa dipengaruhi oleh kepentingan tertentu,
misalnya pengiklan. Ini dilakukan demi kepentingan yang lebih luas, yakni
masyarakat.
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin
verifikasi.
Jurnalis harus menggunakan disiplin
dalam melakukan verifikasi berita. Dislipin dalam verifikasi mampu membuat jurnalis
menyaring gosip, ingatan yang parsial atau keliru, manipulasi, desas-desus, dan
sebagainya guna mendapatkan informasi yang akurat. Nantinya, disiplin ini mampu
membedakan berita ala jurnalis dengan hiburan, propaganda, fiksi, dan opini.
Pekerjaan seperti mencari saksi, menyingkap berbagai sumber, mencari komentar
dengan berbagai pihak mensyaratkan kerja-kerja profesionalitas. Dengan adanya
disiplin verifikasi, narasumber fiktif tidak akan terjadi. Selain itu, disiplin
verifikasi memperjelas batas antara fiksi dan karya jurnalistik.
4. Jurnalis harus menjaga independensi
dari objek sumber beritanya.
Kebebasan adalah syarat utama dari
jurnalisme. Jurnalis harus memposisikan dirinya sebagai orang netral yang
terbebas dari tekanan atau kepentingan apapun. Walaupun komentator memiliki
subjektifitas, tetapi kredibilitas jurnalis tetap yang menjunjung tinggi
akurasi dan kejujuran intelektual.
5. Jurnalis mengemban tugas yang bebas
sebagai pemantau terhadap kekuasaan.
Jurnalis adalah pemantau independen
terhadap kekuasaan. Prinsip ini sangat menekankan peran penjaga (watchdog).
Peran ini harus selalu dijaga. Jurnalis tidak boleh menyelewengkannya. Misalkan
dengat memanfaatkannya untuk kepentingan komersial partai.
6. Jurnalis harus menyediakan forum untuk
kritik dan komentar publik.
Ruang diskusi inilah bentuk-bentuk
akomodatif jurnalis kepada masyarakat. Berbagai pandangan dan kepentingan dalam
masyarakat harus terwakili dengan baik. Karena, seorang jurnalis tidak
selamanya benar dalam menyampaikan kebenaran, meskipun hal itu kewajiban.
Karena itu seorang waratawan yang bertanggung jawab, juga harus mendengarkan
apa keinginan publik dan mampu menerima kritik.
7. Jurnalis harus berusaha membuat yang
penting menjadi menarik dan relevan.
Jurnalisme adalah bercerita dengan
suatu tujuan. Jurnalisme lebih dari sekedar mengumpulkan audience atau
mengumpulkan daftar penting. Jurnalis harus membuat sesuatu yang penting
menjadi menarik. Kualitasnya diukur dari sebanyak keterlibatan audience dalam
menyoroti peristiwa. Berita yang dibuat oleh jurnalis jangan sampai membosankan
pembaca dan jangan sampai berita yang penting menjadi tidak penting karena
pembaca bosan.
8. Jurnalis harus menjaga agar berita itu
proporsional dan komprehensif.
Prinsip di sini adalah jurnalisme
sebagai sebuah bentuk kartogafi yang mampu memetakan arah dalam masyarakat.
Pemberitaan harus dilakukan secara proporsional dengan tidak menghilangkan
hal-hal yang penting. Apalagi kalau hanya untuk melambungkan sensasi.
9. Jurnalis memiliki kewajiban utama
terhadap suara hatinya.
Setiap jurnalis harus memiliki rasa
etik dan tanggung jawab. Ketika rasa moral kita memaksa untuk berbicara
keadilan, maka ia punya kewajiban moral untuk berbicara di ruang-ruang redaksi
maupun eksklusif walaupun berbeda dengan rekan.
Dalam perkembangan lebih lanjut, Bill
Kovach dan Tom Rosenstiel menambahkan elemen ke sepuluh:
10. Warga juga memiliki hak dan
tanggungjawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita.
Elemen terbaru ini muncul dengan
perkembangan teknologi informasi, khususnya internet. Warga bukan lagi sekadar
konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga menciptakan media sendiri. Ini
terlihat dari munculnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen
journalism), jurnalisme komunitas (community journalism) dan media alternatif.
Warga dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan sebagainya, dan dengan
demikian juga mendorong perkembangan jurnalisme.
Dengan
sepuluh prinsip dan aturan diatas, ditambah kelengkapan infrastruktur
masyarakat maupun yang disediakan negara seperti Depkominfo, Komisi Penyiaran
Indonesia, Dewan Pers, maupun asosiasi-asosiasi jurnalis, sepertinya kondisi
ideal dapat lebih didekati. Tapi dinamika yang terjadi di luar ruang redaksi
seringkali membuat independensi jurnalis terganggu. Contoh kasus yang terjadi
adalah “kewajiban” para pegawai MNC Group (termasuk para jurnalis tentunya)
untuk menghadiri kampanye Partai HANURA, dan juga kasus marahnya Anindya Bakrie
terhadap dimuatnya iklan Jokowi di VivaNews.
Namun
demikian, melalui pendekatan politik ekonomi media, kita dapat menjelaskan
bagaimana kepemilikan media mengendalikan isi media. Pendekatan politik ekonomi
media berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan
ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. Faktor seperti pemilik media,
modal, dan pendapatan media dianggap lebih menentukan bagaimana wujud isi
media. Faktor-faktor inilah yang menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau
tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta kearah mana kecenderungan
pemberitaan sebuah media hendak diarahkan (Sudibyo, 2001:2). Dalam pendekatan
politik ekonomi media, kepemilikan media (media ownership) mempunyai arti
penting untuk melihat peran, ideologi, konten media dan efek yang ditimbulkan
media kepada masyarakat.
Dalam
pengertian yang lebih sederhana, Moscow berpendapat bahwa ekonomi politik
adalah hubungan kekuasaan (politik) dalam sumbersumber ekonomi yang ada di
masyarakat[4].
Bila seseorang atau sekelompok orang dapat mengontrol masyarakat berarti dia
berkuasa secara de facto, walaupun de jure tidak memegang kekuasaan sebagai
eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pandangan Moscow tentang penguasa lebih
ditekankan pada penguasa dalam arti de
facto, yaitu orang atau kelompok orang yang mengendalikan kehidupan
masyarakat. Jika memang demikian, maka kekuasaan pemilik media, meski secara
etik dibatasi dan secara normatif disangkal, bukan saja memberi pengaruh pada
konten media, namun juga memberikan implikasi logis kepada masyarakat selaku
audiens. Pemberitaan media menjadi tidak bebas lagi, muatannya kerap
memperhitungkan aspek pasar dan politik.
Dengan
demikian, media dapat menjadi senjata yang sangat ampuh untuk mencapai tujuan
apapun, baik itu untuk memberikan manfaat kepada masyarakat, maupun untuk
mencapai tujuan ekonomi maupun politik pemilik media beserta kawan-kawannya.
Dalam konteks Indonesia, Chaerul Tanjung, Aburizal Bakrie, Harry Tanusudibyo,
dan Surya Paloh adalah contoh yang sangat gamblang betapa kepentingan ekonomi
dan politik sangat dapat diperoleh dengan kepemilikan media.
Pentingnya
Perspektif dalam Media
”Media
adalah senjata, dan berita adalah amunisi”. Barangkali idiom inilah yang dapat
menjadi jawaban atas kepemilikan media oleh orang-orang yang menggunakannya
bukan untuk kepentingan masyarakat. Kita memang belum dapat menggugat
kepemilikan media yang terpusat pada orang-orang tertentu, tapi kita dapat
menjejali ruang publik dengan berita-berita yang berkualitas dan sesuai dengan
prinsip-prinsip jurnalistik yang sehat. Perkembangan teknologi informasi maupun
teknologi percetakan sejauh ini dapat memberikan kemudahan kepada semua orang
untuk memiliki “media” sendiri. Mulai dari situs-situs sosial media yang saat
ini menjamur seperti facebook, twitter, path, linkedIn, maupun blog dan
situs-situs pribadi yang dapat dengan mudah dibuat dan disebarkan ke seluruh
dunia, setiap orang sekarang dapat bercerita dan berteriak mengenai apapun yang
ada dalam kepalanya.
Namun,
kemudahan ini pula yang kemudian menimbulkan arus balik berupa keriuhan dalam
ruang publik. Karena banyaknya suara, maka timbul kebisingan sehingga
masyarakat menjadi bingung memilih suara mana yang akan didengarkan. Semua
suara berlomba-lomba menjadi yang terbesar dan berdesak-desakan untuk menjadi
yang didengarkan. Pada akhirnya, masyarakat kemudian memilih untuk berpaling
pada media-media mainstream yang sudah lebih dulu ada dan established. Hal ini adalah reaksi normal ketika masyarakat
diperhadapkan dengan kebisingan, maka mereka akan memilih yang suaranya lebih
teratur. Media mainstream lebih teratur suaranya karena mereka sudah memiliki
perspektif pemberitaan.
Perspektif
adalah cara pandang kita mengenai sesuatu. Cara pandang tentu akan mempengaruhi
bagaimana kita menafsirkan sebuah peristiwa dan juga bagaimana cara kita
bercerita tentang peristiwa tersebut. Contohnya adalah jika terjadi perkosaan.
Sebagian akan menganggap bahwa perkosaan itu terjadi karena kesalahan korban
(entah karena pakaian ataupun karena tidak mampu mempertahankan diri), tapi
sebagian lain akan melihat bahwa pelaku memang sepenuhnya bertanggung jawab
atas perbuatannya tanpa dipengaruhi oleh lingkungan apapun. Perspektif ini akan
terbawa saat seseorang bercerita mengenai peristiwa perkosaan. Jika yang
bercerita adalah jurnalis atau jurnalis, maka berita yang termuat dalam media
akan memuat pula pesan terselubung yang bernama perspektif tersebut.
Persoalan
perspektif sangat berkaitan erat dengan pengetahuan si pembawa berita. Kita
semua tentu mafhum bahwa cerita seorang anak kecil akan berbeda dengan cerita
seorang mahasiswa. Cerita seseorang yang memiliki pengetahuan tentang
sebab-sebab kekerasan akan berbeda dengan cerita orang lain yang hanya melihat
kekerasan sebagai kekerasan semata dan tidak bergantung pada kondisi lainnya.
Dalam kasus Dr. Ayu dkk di Rumah Sakit Umum Menado, persoalan perspektif juga
sangat mempengaruhi pemberitaan. Kebanyakan media hanya melihat sisi
meninggalnya pasien sebagai kelalaian tim dokter semata. Hal ini disebabkan
oleh kurangnya pengetahuan jurnalis penulis berita mengenai kondisi-kondisi
khusus yang mempengaruhi proses tindakan medic yang dilakukan. Yang terjadi
kemudian adalah masyarakat ikut menghakimi Dr. Ayu dan sejawat praktisi
kesehatan lain sebagai orang yang lalai dalam melaksanakan tugas. Maka
bermunculan lah berbagai berita mengenai malpraktik kedokteran yang seakan
memperkuat dugaan malpraktik meskipun berasal dari kasus yang berbeda. PB IDI
kemudian berinisiatif membawa kasus ini ke ruang publik untuk memancing
pemberitaan dan coverage media yang lebih besar, membahas permasalahan ini
secara lebih mendalam berdasar UU Praktik Kedokteran dan juga kondisi khusus
yang terjadi pada tindakan medis dimaksud. Barulah kemudian perpektif
kedokteran dan praktik kesehatan menjadi muatan dalam pemberitaan sehingga
masyarakat dapat melihat kasus ini secara lebih objektif.
Kasus
ini memberikan pelajaran bahwa perspektif sangat dibutuhkan dalam membuat
berita yang berkualitas dan berimbang. Adalah sangat tidak adil jika membiarkan
jurnalis dengan pengetahuan praktik kesehatan tidak memadai untuk menyajikan
berita mengenai praktik kesehatan yang lebih kompleks. Untuk itu, para praktisi
kesehatan yang memiliki pengetahuan khusus mengenai praktik kesehatan harus mulai
memikirkan bagaimana cara memanfaatkan media yang ada untuk memberikan berita
yang lebih berimbang dan berkualitas mengenai praktik kesehatan kepada
masyarakat. Masyarakat kita berhak untuk mendapatkan informasi praktik
kesehatan yang berkualitas.
Media dan Bangunan Kesehatan Kita
Memasuki 106 tahun kiprah dokter di Indonesia,
banyak yang sudah terjadi. Banyak hal yang seharusnya menjadi concern para dokter maupun lembaga
profesinya. Political will pemerintah pusat maupun daerah dalam menjalankan
kebijakan kesehatan sesuai yang diamanahkan dalam UUD 1945 pasal 28H ayat (1),
yang menjamin hak warganya untuk sehat: ”Setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Sedangkan pada Pasal 34 (ayat 3) UUD
1945 dikatakan: "Negara bertanggung
jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan
umum yang layak", masih belum memenuhi harapan[5].
Selain dari segi pelayanan, segi pembiayaan pun
juga menjadi masalah karena tidak adekuatnya anggaran kesehatan. Rilis yang
dikeluarkan oleh Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi
Anggaran pada 19 September 2012 menyatakan bahwa sejak 2005-2013, rata-rata
anggaran kesehatan hanya dialokasikan 2% dari belanja APBN. Hal ini tidak
sesuai dengan amanat UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 171.
Saat ini dirasakan bahwa hasil-hasil pembangunan
nasional bidang kesehatan belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari indikator
atas capaian Human Development Index dan capaian atas Millenium
Development Goals yang kurang menggembirakan. Ketidakoptimalan ini selain
disebabkan oleh semakin besarnya tantangan dari lingkungan strategis yang ada,
baik secara nasional regional maupun internasional, juga dapat dilihat dari
perspektif bahwa saat ini kesungguhan dalam menjalankan paradigma nasional
masih belum sesuai harapan. Untuk itu, permasalahannya adalah bagamana memahami
lebih lanjut implementasi paradigma nasional dalam bidang kesehatan menuju
tercapainya Indonesia sehat sebagaimana diharapkan. HDI Indonesia masih rendah dengan angka harapan hidup hanya 69,8 tahun menurun dibandingkan pada tahun 2006 yaitu 70,1 tahun, serta buruknya tingkat gizi di beberapa
wilayah (prevalensi gizi buruk berstatus sangat tinggi) yang pula oleh buruknya peringkat IPM daerah
tersebut perlu mendapat perhatian semua pihak.
Potret bangunan kesehatan sebagaimana terlihat
dalam uraian diatas tentu sangat memprihatinkan dan selayaknya menjadi
perhatian semua pihak. Baik dalam skala nasional maupun regional, permasalahan
pembangunan kesehatan harus menjadi perhatian pemerintah maupun masyarakat umum
karena kesehatan adalah kebutuhan dasar setiap orang yang harus dipenuhi.
Dalam mengadvokasi masalah kesehatan ini, media
kemudian memegang peranan penting. Media seharusnya dapat memberitakan mengenai
kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang kesehatan dengan perpektif dunia
kesehatan pula; UU dan aturan-aturan yang mengatur pemenuhan hak masyarakat
atas hidup yang sehat. Media seharusnya dapat menyoroti ketidakberimbangan
penggunaan APBN dan APBD sehingga sector kesehatan tidak menjadi hal yang
diutamakan oleh pemerintah. Media seharusnya dapat memaksa pemerintah dan semua
pihak yang berkepentingan untuk memenuhi hak-hak kesehatan masyarakat melalui
pembentukan opini publik yang pada akhirnya akan menggerakkan masyarakat untuk
menuntut hak-hak mereka. Media seharusnya mencerdaskan masyarakat; membuka
wacana dan pemahaman masyarakat atas apa yang berhak mereka dapatkan tapi tidak
diberikan oleh pemerintah.
Untuk memenuhi tugas jurnalisme dan media ini,
masyarakat seharusnya tidak lagi dalam pihak yang menunggu saja. Sebagaimana
disebutkan dalam prinsip ke-sepuluh jurnalisme diatas, masyarakat luas juga
memiliki hak dan tanggungjawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita.
Masyarakat, dalam hal ini para praktisi kesehatan, seharusnya mampu memberikan
berita dengan perpektif kesehatan kepada para penulis berita dan juga media.
Praktisi kesehatan dalam hal ini dapat menyediakan jalur bagi media untuk bisa
mendapatkan berita dengan perspektif kesehatan. Atau dapat juga dengan cara
lain; para praktisi kesehatan menyediakan media sendiri yang memberikan berita
mengenai pembangunan kesehatan dengan perspektif kesehatan tentunya.
Apapun cara yang dipilih,
para praktisi kesehatan tidak boleh buta dunia jurnalisme. Yang manapun cara
yang dipilih, praktisi kesehatan harus membina media relations yang baik dengan
personal-personal kunci media-media. Beberapa saran yang dapat membantu dalam
pemanfaatan media adalah sebagai berikut:
1.
Pelajari
teknik jurnalisme yang baik
Jurnalisme
yang baik tidak hanya agar berita yang dimuat sesuai dengan kaidah yang
berlaku, tetapi juga mendidik masyarakat agar hanya menerima produk jurnalisme yang
sehat. Dengan senantiasa memberika produk jurnalisme yang sehat, maka
masyarakat akan terbiasa dan kemudian tidak lagi mengkonsumsi produk-produk
jurnalisme abal-abal.
Jurnalisme
yang baik tentu tidak hanya membutuhkan kemampuan menulis, tapi juga membutuhkan
kapasitas untuk membaca dan terus menambah pengetahuan. Dengan bekal
pengetahuan yang cukup, maka kita akan bisa menulis dengan lebih baik.
Jurnalisme
yang baik juga membutuhkan latihan, tidak akan terbentuk dalam semalam. Sarana
latihan kiranya sudah cukup banyak; blog, facebook, twitter, path, dan
situs-situs lainnya. Tentu saja dalam latihan kita harus terbuka dengan segala
macam kritik dan sanggahan.
Terakhir,
jurnalisme yang baik memerlukan kejelian dalam memilih kata, diksi, dan gaya
bahasa. Agar menarik, sebuah berita tentu berbeda penulisan dan bahasanya
dibanding sebuah press release atau
pernyataan sikap.
2. Bangun media
relation yang kokoh
Media relation
diperlukan agar apa yang ingin kita sampaikan dapat mudah diberitakan oleh
media lain. Walaupun kita telah memiliki memiliki media sendiri, kita tetap
akan membutuhkan media lain untuk memperbesar efek pemberitaan. Dalam media relation, yang harus diutamakan
adalah hubungan personal dengan tokoh kunci pemberitaan di setiap media. Yang
paling baik adalah jika berhubungan baik dengan redaktur, karena kita dapat
langsung menghubungi jika kita butuh coverage pemberitaan di media miliknya.
3. Pergunakan media sosial dengan bijak
Media
sosial terbukti menjadi salah satu sarana untuk menyampaikan pendapat. Media sosial
seperti facebook, twitter, dan path juga dapat dipergunakan untuk menyebarkan
berita yang ada di media utama kita. Untuk itu, para praktisi kesehatan
sebaiknya memiliki media sosial masing-masing, agar dapat saling menguatkan
bila mengangkat isu tertentu. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa media sosial
tidak dapat menampung seluruh informasi. Sebaiknya media sosial hanya menjadi
jembatan agar masyarakat mau mengunjungi situs atau media utama yang memuat
berita lebih lengkap. Untuk itu, harus dijaga agar tidak terlalu banyak link
berita yang disebarkan setiap hari melalui media sosial; pilihlah isu yang
benar-benar menarik setiap harinya. Hindari juga untuk berdebat di media sosial
seperti twitter karena keterbatasan karakter yang dapat ditampung akan
mereduksi pemahaman akan informasi. Sebaiknya setiap perdebatan diarahkan ke
situs atau media utama saja.
4. Gunakan teknik komunikasi dalam
membuat media
Dalam
ilmu komunikasi ada kaidah; Who-What-Channel-Whom-Effect. Kaidah ini dapat
diartikan secara bebas; Siapa(Who) mengatakan Apa(What) melalui
Saluran(Channel) yang mana kepada Siapa(Whom) untuk mendapatkan Efek(Effect)
seperti apa. Secara singkat, kita harus memilih apa efek yang kita inginkan
terhadap target pembaca dengan media yang kita punyai. Jika hanya untuk
menyebar isu asal-asalan kepada masyarakat dengan tingkat kecerdasan rendah,
tentu saluran yang kita pakai bukanlah internet. Jika efek yang kita inginkan adalah
pencerahan dengan sasaran masyarakat yang cukup cerdas, pemilihan internet akan
lebih baik. Apa yang kita beritakan, gaya bahasa yang digunakan, juga harus
sesuai dengan saluran, target pembaca, dan juga efek yang diinginkan. Begitu
juga, personal yang memberikan pernyataan dalam media juga harus orang yang
sesuai dan dikenal oleh target pembaca. Kaidah ini harus dipertimbangkan
sebelum kita memutuskan untuk membuat sebuah media.
Penutup
Pembangunan
di bidang apapun tidak akan pernah lepas dari pengaruh media, termasuk juga
pembangunan kesehatan. Media adalah senjata yang dapat dipergunakan baik untuk
kemaslahatan masyarakat maupun untuk kepentingan pribadi semata. Karena itu,
setiap orang sedianya bertanggung jawab dalam memberitakan kondisi yang terjadi
dan kemudian mengajak seluruh masyarakat untuk ikut terlibat dalam membangun
peradaban yang lebih baik. Pelatihan kali ini kiranya sangat penting untuk
membekali kita semua dengan kemampuan memberitakan agar apa yang ingin kita
sampaikan dapat mencapai target dengan baik. Semoga para lulusan dari training
ini dapat memanfaatkan ilmu yang didapatnya hari ini dengan baik. Mengutip apa
yang sering kita teriakkan semasa mahasiswa dulu; “Jangan pernah diam melihat
kedzaliman, karena diam adalah pengkhianatan!”
Billahittaufiq wal hidaayah..
[1]
Disampaikan pada Workshop Jurnalistik Kesehatan se-Kalimantan Barat oleh IDI
Kalimantan Barat dan Forum Pemuda Kalimantan Barat, tanggal 24 Mei 2014, di
Pontianak.
[2]
Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI)
Periode 2012-2015
[3] http://www.academia.edu/5142169/Sembilan_Elemen_Jurnalisme_Plus_Elemen_ke-10_
Dilihat pada 21 Mei 2014, pkl. 13.15 WIB.
[4] Vincent
Moscow. 1998. The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal.
University of Winconsin Press. Hal. 25.
[5] http://www.idionline.org/2014/05/press-releas-hari-bakti-dokter-indonesia-hbdi-ke-106/
Dilihat pada 21 Mei 2014, pkl. 15.00 WIB
No comments:
Post a Comment