Tuesday 15 March 2011

HEBOH SUSU FORMULA : KITA SALAH PERSPEKTIF

Awal 2011 ini Indonesia dihebohkan oleh berita susu formula tercemar bakteri Enterobacter sakazakii !. Berita ini sebenarnya sudah lama, berasal dari penelitian IPB pada 2003-2006. Hasil Penelitian ini dimuat di E.Jurnal pada 2008. Dari sinilah beritanya menyebar. Menjadi heboh karena ada institusinya tapi tidak bersedia menjelaskan merek susu formula yang tercemar, seperti yang diminta oleh masyarakat. Menjadi lebih heboh karena terdapat masalah ekonomi politik : kepentingan produsen susu versus perlindungan konsumen, sehingga melibatkan Departemen Kesehatan/Badan POM dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Pada awal 2011 menjadi sangat santer dibicarakan karena adanya gugatan praktisi hukum David Tobing yang akhirnya menyebabkan Makamah Agung “memerintahkan” ketiga institusi : Kemenkes, BPOM dan IPB untuk membeberkan merek susu yang tercemar atas nama transparansi. Selanjutnya sampai tulisan ini dibuat, drama tarik menarik kepentingan ini masih berlanjut.


Sekilas, baik masyarakat maupun kementerian kesehatan, sama benarnya. Masyarakat sebagai pengguna yang mengonsumsi produk makanan, tidak hanya wajib dilindungi, tetapi juga berhak mendapatkan informasi yang cukup dan jelas tentang produk makanan yang aman maupun makanan yang berbahaya, sehingga masyarakat dapat memilih dan melindungi diri mereka sendiri.
Kementerian kesehata
n juga benar dengan menyatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan susu yang beredar sekarang, karena produk batch 2003-2006 pasti sudah tidak beredar lagi. Sementara, produk yang sekarang ada di pasaran sangat besar kemungkinan tidak mengandung bakteri yang dihebohkan itu. Pertama, karena memang tidak ditemukan dalam pemeriksaan berkala dalam beberapa tahun terakhir oleh badan POM; kedua, karena dalam aturan CODEC tahun 2009 yang baru, bakteri yang menghebohkan itu sudah masuk dalam standar untuk diperiksa agar sesuai batas keamanan dalam setiap produk makanan yang beredar.

Kehebohan ini menjadi salah salah perspektif berkat bantuan blow up yang luar biasa dari media massa. Pusat perhatian adalah bakteri pencemar pada susu formula. Padahal, mestinya pada susu formulanya. Menteri Kesehatan berkali-kali dalam kontak dengan media massa menjelaskan bahwa ibu harus meneteki bayinya secara eksklusif sampai usia bayi 6 bulan. Hanya untuk kasus-kasus tertentu, seperti pada ibu yang air susunya tidak keluar, ibu tidak bisa meneteki karena penyakit tertentu dan beberapa keadaan khusus lainnya. Semua kehebohan ini tidak akan terjadi jika bayi mendapat ASI eksklusif sampai usia 6 bulan.

Pelajaran yang bisa kita dapat dari kehebohan ini. Pertama promosi tentang ASI eksklusif ini ternyata belum berhasil menjangkau masyarakat, lembaga konsumen, dan media massa, sehingga menekankan pada bakteri pencemar ini yang kasusnya sampai sekarang bisa dihitung dengan jari.Mereka lupa bahwa kasus susu formula yang sangat besar adalah penggunaannya yang tidak tepat pada bayi, terutama bayi baru lahir. Susu formula, bagaimanapun juga adalah protein, berfungsi seperti media pertumbuhan bakteri, sehingga begitu dibuka memungkinkan bakteri untuk tumbuh.

Salah persepsi ini perlu diperhatikan, karena berapa banyak dari keluarga tidak mampu yang menjadi kekurangan gizi karena ibu tidak meneteki bayinya, dan karena-untuk mengurangi biaya-menggunakan susu formula yang diencerkan beberapa kali. Berapa banyak bayi yang mengalami penyakit saluran pencernaan, karena berbeda dengan ASI yang siap pakai, susu formula memerlukan botol yang bersih dan relative steril. Inilah hal yang sering dilupakan.Susu formula adalah salah satu biang keladi penyebab kekurangan gizi, penyakit serta kematian bayi dan anak yang cukup tinggi dinegara berkembang. Media massa yang dikejar kepentingan mencari”berita” melupakan berita yang besar ini. Salah satunya karena belum berhasilnya promosi kesehatan.

Jadi, momentum ini sebenarnya bisa digunakan oleh berbagai pihak yang menaruh perhatian pada kesehatan masyarakat untuk meletakkan proporsi yang wajar pada kasus pencemaran susu formula. Mungkin kita bisa belajar dari Negara Scandinavia. Menurut Utami Roesli, di Scandinavia sulit sekali menemukan susu formula karena warganya punya kesadaran yang tinggi untuk kembali ke ASI. Kalau sudah seperti itu maka (sekali lagi) semua kehebohan ini tidak perlu terjadi. Belum lagi berapa bayi dan anak yang bisa diselamatkan dari kekurangan gizi, diare dan kematian.

Mestinya, perlu ada berbagai pertemuan dan seminar, tidak perlu dalam hotel yang mahal, untuk mengembalikan perhatian pada ancaman susu formula. Momentum ini juga mestinya digunakan oleh kementerian kesehatan untuk mencari metode promosi tentang ASI eksklusif yang lebih cost effective. Kalau tidak, kita akan kembali pada paradigma lama ; kementerian kesehatan, tetapi sibuk mengurusi kesakitan.

Prof.Dr.Purnawan Junadi, MPH, PhD.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Sumber : Medika – Jurnal Kedokteran No.03 Thn XXXVII, Maret 2011