Thursday 26 July 2018

HARAPAN DIBALIK AUTISME


"Satu milyar tambah seratus juta sama dengan satu milyar seratus juta," ujar Rifky yang sekiranya berusia 10 tahunan. Tatapan matanya kosong di sebuah perumahan Cinere, Depok, Selasa kemarin (25/7).
Rifky dengan agresif menjelaskan dan berulang-ulang hitungan yang disebutnya tadi. Penasaran, saya pun bertanya balik kepadanya.
"Kalau satu milyar tambah satu, berapa, Dek?" Anak lelaki ini tampak linglung, bibirnya kelu menjawab. Beberapa kali saya mengarahkan jawabannya, tapi tetap saja anak lelaki ini tidak mampu menjawab atau mengulang. Hanya rebah manja ke pundak saja yang dia beri, seakan menandakan kekalahannya akan pertanyaan itu.
Zaskia dan Alisha, Dua anak perempuan lainnya yang usianya sekitar 7 tahunan langsung saja menyambar tangan saya sebelahnya. Ia terlihat sangat agresif. Dua adik Rifky ini tak ada lelah berbicara dan bertanya. Namun satu keanehan yang saya dapatkan dari ketiganya, mereka menolak berkontak mata. Saat saya memaksakan tatapan mata saya, mereka terlihat menghindar.
Ayahnya, Dodi, keluar dari pintu rumah, tepat di hadapan saya. Dodi terlihat memeragakan ekspresi yang hampir serupa dengan anak-anaknya. Ketiga anak tersebut langsung saja beranjak dari saya ke ayahnya. 
"Maaf ya, Dok, anak saya ini ADHD dan autis ringan," papar Dodi. ADHD dan autisme adalah gangguan perilaku yang menghambat komunikasi dan berinteraksi. 
Selang beberapa menit, seorang perempuan datang mengendarai sepeda motor. Namanya, Ade, sang ibu dari ketiga anak ini. Dia datang menyambut kehadiran saya dan tim LPAI. Setelah itu dia kemudian menuturkan berbagai hal seputar keluarga dan anaknya.
Keluarga ini baru mengetahui ketiga anaknya mengalami gangguan perkembangan sewaktu ketiganya balita. Kekhawatiran akan itu, menyebabkan sang ibu membawa ketiga anak ini ke dokter. Di dokter kemudian dia mengetahui gangguan tersebut.
Keluarga ini bisa dibilang tidak mampu secara finansial. Mereka hidup dari bantuan makanan dan finansial dari tetangga-tetangga. Sisanya mereka hidup dalam keterbatasan.
Dari percakapan ini saya mengetahui bahwa sang ayah juga Retardasi Mental walaupun mungkin ringan mengingat beliau adalah sarjana. Keterbatasan keuangan juga menyebabkan ketiga anak ini sulit mendapat perawatan. Tiap minggu, dia harus pergi dari rumahnya di daerah Cinere, Depok ke RSCM. 
Hingga saat ini masih dalam perdebatan mengenai penyabab dari gangguan tersebut. Namun bukan berarti gangguan ini tidak berkembang. dari tahun 2001 ke 2008, terjadi peningkatan jumlah anak yang mengalami gangguan ini. Dari satu ke 1,68 per 1000 kelahiran. Ketiga anak pasangan Dodi-Ade ini adalah pelengkap dari data tersebut yang cukup berseberangan dari semangat Hari Anak Nasional, dengan tagline GENIUS (Gesit-Empati-Berani-Unggul-Sehat).
Pandangan saya beralih pada anak-anak yang bermain petak umpet diluar rumah keluarga ini. Tampak beberapa dari mereka berhamburan untuk sembunyi. Rifky, Zaskia, dan Alisha nampak antusias ingin terlibat. 
Namun mereka dihiraukan, menandakan penolakan. Ketiga anak ini kemudian berlari ke tempat lain, selang beberapa detik, ketiganya berhamburan ke dalam rumah sembari berteriak-teriak. Mata Ade basah, sembari menceritakan penolakan itu kerap terjadi pada teman sebaya mereka. 
Di situ saya sadar, ketiga anak itu butuh bantuan kita. Bukan sumbangan uang saja yang berkelanjutan utk hidup yang mereka butuhkan, tetapi harapan dan juga kemandirian mereka nantinya. 
Selamat Hari Anak Nasional”
Rosita Rivai - Aktivis Kemanusiaan DD

Sunday 8 July 2018

25 Tahun dan Mimpi-Mimpi Yang Sederhana

Bekerja dengan lembaga kemanusiaan adalah  nafas buat saya.

Berawal di bangku perkuliahan bisa dibilang saya dibesarkan di era transisi antara orde baru dan reformasi. Saat itu pemikiran kritis saling bertarung, kemanusiaan menjadi pertanyaan. 

Sebagai mahasiswa kedokteran, sikap kritis itu terwujud dalam keterlibatan saya dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan dan tentunya juga kemanusiaan. Sebagai hasil interpretasi saya akan Islam dan kemanusiaan dalam karya-karya Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, ataupun Ali Syariati.

Lebih dari itu, ada rasa senang yang entah berantah hadir ketika saya memberikan obat dan membantu kaum yang papah ataupun yang terkena bencana. Dari situ saya mulai merasakan panggilan untuk memburu kebahagiaan itu, kebahagiaan yang tiada tara saat membantu sesama.

Namun saya sadar panggilan ini memang tidak menawarkan pundi yang muluk-muluk seperti yang akan saya rasakan bila bekerja di perusahaan ataupun seperti kebanyakan rekanan sejawat saya yang bekerja di fasilitas kesehatan dengan menjadi praktisi kesehatan. Karena bila mencari zona nyaman, tentu pilihan bekerja di lembaga kemanusiaan bukanlah opsi terbaik.

Tapi lagi-lagi ini soal panggilan hati, panggilan yang mungkin sangat sulit untuk dielakkan. 

Kebahagiaan itu membuncah ketika menjadi bagjan dari keluarga besar dari lembaga kemanusiaan, Dompet Dhuafa yg baru saja berulang tahun ke 25 memang baru satu tahun terakhir ini.

Salah satu kebanggaan bekerja di lembaga ini adalah saya sadar bahwa kebahagiaan itu meretas dari kesederhanaan dan keikhlasan. Di sini saya merasa bersama rekan-rekan yang juga menuruti panggilan yang sama saya rasakan.

Sebuah perayaan sederhana di Zona Madina Dompet Dhuafa dimana semua Pendiri, Amil, Karyawan dan Alumni dari Lembaga Kemanusiaan dan juga organ sayap Dompet Dhuafa lainnya turut hadir. 
Acara dengan tema "Menjawab Panggilan Zaman" adalah refleksi yang saya rasakan saat berada di acara tersebut.

Bayangkan ketika berada dalam sebuah ruang aula bersama orang-orang yang batinnya juga terpanggil. Di situ saya merasakan keikhlasan dan kerja-kerja kemanusiaan tak akan lekang oleh zaman, sekalipun putaran roda zaman dan teknologi melancarkan keterasingan dan individualisme.

Semangat dan panggilan itu semakin menguat. Saya yang diamanahkan  untuk bergabung di Divisi Kesehatan sebagai garda terdepan untuk layanan dan pemberdayaan dibidang
kesehatan. 

Saya sadar bahwa tantangan Dompet Dhuafa dan lembaga kemanusiaan lainnya di era JKN, semakin nyata. Di mana semua akses kesehatan bisa gratis. Mungkin saja akan banyak pertanyaan alasan DD masih melanjutkan program Kesehatan Cuma-cumanya bila semua akan ditanggung Negara.

Tapi haruslah disadari kesehatan bukan hanya soal gratis dan berbayar. Ada aspek lain yang mungkin terlewatkan atau mungkin saja belum tercakup dalam sistem JKN ini. Nyatanya JKN belum bisa menjawab kasus malanutrisi di Asmat, hoax kesehatan, atau kasus pasien yang tidak tertangani. Semua bisa kita rasakan denyutnya di era kebebasan informatika ini, media sosial.

Disitulah kami perlu merasa hadir dengan program-program pemberdayaan kesehatan yg sdh kami lakukan sejak 17 thn yang lalu. Tersebar di 9 Provinsi, 20 GeraiSehat/Klinik, 50 Pos Sehat  dan 5 RS, kami terus mengembangkan program - program kesehatan mulai dari promosi preventif untuk pendampingan komunitas dan tentunya juga kuratif yg kami sediakan di fasilitas kesehatan dan tentunya juga layanan advokasi kesehatan seperti  layanan Respon Darurat Kesehatan. 
Lagi-lagi saya yakin, bahwa saya tidak menyesal panggilan itu, karena di lembaga ini saya melihat jarak pandang dan cita-cita saya dapat digapai. Walau saya tahu itu tidak gampang. Setidaknya saya bisa mengejar kebahagiaan saya dalam kesederhanaan lembaga ini.

Salam takzim untuk 25 tahun Dompet Dhuafa dan 17 tahun Layanan Kesehatan Cuma-Cuma.

Rosita Rivai
Aktivis Kemanusiaan Dompet Dhuafa