Friday 23 December 2011

Ibu, Peletak Dasar Prilaku Sehat dan Gizi Seimbang dalam Keluarga

Menjadi ibu rumah tangga sering dianggap pekerjaan yang remeh-temeh oleh kebanyakan orang. Anggapan ibu rumah tangga yang hanya bergelut dengan “dapur” dan “kasur” kadang membuat sebagian ibu merasa minder jika ditanya mengenai pekerjaan dengan mengatakan “aku saya cuma Ibu rumah tangga”. Apalagi jika latar ibu rumah tangga tersebut seorang yang berpendidikan tinggi, dianggap punya potensi untuk berkarir. Seringkali terdengar komentar yang ditujukan kepada wanita yang memilih mengabdikan hidupnya untuk keluarga ini dengan nada yang menyayangkan. Misalnya “Sayang ya sudah sekolah tinggi-tinggi cuma jadi ibu rumah tangga”.  Demikian Dr. Fitria N. Pulukadang mengawali peresentasinya pada diskusi terbatas yang diselenggarakan Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi , dalam rangka Hari Ibu ke 83 Tahun 2011, di Café Nona Bola, Jakarta Pusat, Senin pagi (19/12).
Lebih lanjut, Fitria yang kini menjadi aktivis dan Pengurus Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, mengatakan ibu adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya, tempat dimana anak mendapat asuhan dan diberi pendidikan pertama bahkan mungkin sejak dalam kandungan. Seorang ibu secara sadar atau tak sadar telah memberi pendidikan kepada sang janin, karena menurut penelitian bahwa bayi dalam kandungan sudah bisa mendengar bahkan ikut merasakan suasana hati sang ibunda. Belum lagi pendidikan yang diberikan pada saat ibu menyusui bayinya.Tak heran jika ikatan emosional dari seorang ibu kepada anak tampak lebih dibanding dengan dari ayah. Melihat pentingnya peran ibu, ibu hamil, dan bahkan calon ibu, sehingga ia harus mendapatkan perhatian serius.Kita harus bisa melindungi ibu dari berbagai himpitan masalah gizi dan kesehatan.
Dari sisi status kesehatan , angka kematian ibu (AKI) Indonesia secara Nasional dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2007, dimana menunjukkan penurunan yang signifikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan SDKI survei terakhir tahun 2007 AKI Indonesia sebesar 228 per 100.000 Kelahiran Hidup, meskipun demikian angka tersebut masih tertinggi di Asia.Prevalensi nasional kurang energi kronis pada perempuan usia subur (berdasarkan LILA yang disesuaikan dengan umur) adalah 13,6%.  Sebanyak 10 provinsi mempunyai prevalensi kurang energi kronis pada perempuan usia subur di atas prevalensi nasional, yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Sementara itu, nilai rerata nasional Kadar Hemoglobin Pada Perempuan Dewasa adalah 13,00 g/dl. Sebanyak 17 provinsi mempunyai nilai rerata Kadar Hemoglobin pada perempuan dewasa dibawah nilai rerata nasional, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Lampung, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara. Sedangkan kondisi anemia pada ibu hamil memperbesar resiko kematian saat melahirkan serta penyakit pasca melahirkan. Jika masalah anemia pada perempuan dewasa ini tidak juga diatasi maka angka kematian ibu (AKI) masih dikhawatirkan sulit untuk diturunkan.
Masalah kesehatan lain yang dihadapi oleh kaum ibu atau perempuan adalah infeksi HIV/AIDS. Jumlah perempuan yang terinfeksi HIV AIDS di Indonesia terus meningkat dengan cepat. Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 40.000 ibu rumah tangga yang  terkena HIV AIDS karena tertular dari suami mereka. Semuanya itu menujukkan masih rendahnya perhatian dan belum bisanya kita menempatkan ibu pada kedudukan yang terpandang, ungkap Fitria.
Pada kesempatan yang sama Dr. Tirta Prawita Sari, MSc, Ketua Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi  mengungkapkan bahwa golongan yang paling rentan terhadap kekurangan gizi adalah ibu hamil, bayi, dan balita. Bahkan jauh sebelum ia hamil terkadang sudah rentan. Tingginya prevalensi anemia dan kurang energi protein pada ibu hamil, atau bahkan juga bagi kelompok wanita usia subur, menjadi petunjuk kerentanan itu.Tak hanya itu, buruknya sistem pelayanan kesehatan ibu hamil, persalinan, dan angka kematian ibu yang masih tinggi, serta tidak masuknya kehamilan dalam item yang ditanggung oleh sistem asuransi, menjadi pertanda lain betapa bangsa ini abai dalam mengelola asetnya. Membiarkan ibu hamil dan juga perempuan usia subur berada dalam keadaan kurang gizi berarti telah menempatkan bangsa ini dalam bahaya, imbuh Tirta.Tirta, yang juga dosen Ilmu Gizi Klinik Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta, menyatakan bahwa ibu atau perempuan usia subur merupakan investasi sempurna bila ingin mendapatkan bangsa dengan status gizi yang baik. Kehadirannya bukan hanya karena menjadi ladang persemaian benih atau tempat menumbuhkan generasi baru, namun peran lain yang lebih mendasar.
Ibu adalah peletak dasar segala prilaku sehat di rumah. Seorang ibu yang telah tercerahkan oleh pentingnya nutrisi dan kesehatan akan menjadi lokomotif bagi keluarga dalam menjamin ketersedian gizi seimbang. Bahkan dalam keterbatasan sumber daya ekonomi, seorang ibu yang telah memahami gizi mampu menyediakan makanan dengan gizi seimbang, karena sejatinya, gizi seimbang bukanlah makanan mewah yang begitu sulit untuk diperoleh. Gizi seimbang haruslah dapat dipenuhi oleh kelompok sosial ekonomi apapun dan sebaiknya haruslah mengikuti kearifan lokal, sehingga mudah diperoleh oleh keluarga.Pendidikan secara kontinyu pada kelompok ibu dan kemudian diterapkan akan menjadi “proyek” efektif dan efisien untuk mengatasi masalah gizi di Indonesia. Tak perlu program ambisius yang menyita banyak dana, cukup siapkan saja sepasukan ibu sadar gizi, maka bangsa ini insya Allah akan terlindungi dari segala masalah gizi. Sebagai contoh adalah pemerintah Gambia yang telah berhasil mengatasi masalah kurang energi protein pada wanita hamil. Mereka menyediakan biskuit tinggi energi bagi wanita hamil untuk mengatasi masalah tingginya prevalensi bayi berat lahir rendah, dan upaya ini ternyata berhasil menurunkan prevalensi tersebut hingga 50% (1997).
Contoh lain menurut Tirta, yang berkaitan ketepatan target dan intervensi bisa dipelajari dari pemerintah Nigeria. Analisis masalah yang kuat terhadap masalah gizi akan menghasilkan problem solving yang efektif. Wanita di desa Kwaren Sabre, Nigeria memiliki beban kerja yang sangat tinggi. Setiap harinya mereka harus bekerja di ladang, akibatnya tak banyak waktu dan energi yang tersedia untuk mengurus anak-anak mereka, sehingga banyak ditemukan anak dengan status gizi kurang. Kondisi ini kemudian disikapi dengan mengurangi tanggung jawab ibu untuk bekerja di luar rumah, supaya mereka memiliki banyak waktu untuk memperhatikan dan mengasuh anak-anaknya. Pengurangan beban kerja ini berhasil menurunkan angka malnutrisi sebanyak 10% dalam waktu satu tahun (1995 – 1996).
Dari contoh di atas, jelas menunjukkan bahwa gizi seimbang itu tak hanya meliputi penyediaan dan proses pengolahan, namun bagaimana ia dihantarkan hingga masuk kedalam sistem pencernaan anak. Persoalan utama dari rendahnya asupan gizi seimbang pada anak, bukan hanya terletak pada ketersediaan pangan yang baik dan penanganan penyakit infeksi, tetapi lebih pada kecerdasan ibu dalam memberikan pendekatan persuasif dan ketersedian waktu untuk mencurahkan perhatian terhadap anak agar mau menyantap menu seimbang tersebut.Upaya persuasi tersebut bukanlah hal sederhana, mengingat setiap anak memiliki selera dan kemerdekaaan dalam menentukan kesukaan mereka. Dan agar upaya ini berhasil, seorang ibu juga harus mampu mengendalikan faktor eksternal anak yang akan mempengaruhi selera anak. Ibu adalah pembentuk pola makan seimbang bagi anak. Seorang ibu yang tidak menyukai ikan biasanya secara tak sadar akan menularkan ketidak-sukaan tersebut pada anaknya. Ibu yang melek gizi akan menyiapkan preferensi anak dari sejak dini, ia akan menyiapkan anak untuk hanya menyukai makanan bergizi baik. Ibu adalah peletak dasar prilaku sehat di rumah dan proteksi utama masalah kesehatan sebuah keluarga dari segala bahaya kesehatan, ungkap Tirta dalam menutup paparannya.

sumber : www.sadargizi.com

Nutrisi dan Anti Retroviral bagi Masa Depan Terapi Sang Pembawa Virus

(Menyambut Hari AIDS Se-Dunia 1 Desember 2011 – Yayasan Gema Sadar Gizi)
Jakarta (28/11-2011).  Penyakit AIDS pertama sekali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, oleh CDC Amerika Serikat yang menemukan Pneumonia Pneumositis pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles. Sejak saat itu juga teridentifikasi  penyebabnya yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV). Terhitung sudah lebih dari 30 tahun perjalanan kasus HIV/AIDS menghantui dunia kedokteran dan masyarakat dunia sebagai suatu penyakit yang belum ditemukan obat penyembuhnya.
Saat ini tercatat kurang lebih 5,2 juta penderita HIV/AIDS seluruh dunia (WHO) yang pada tahun sebelumnya hanya tercatat 1,2 juta kasus. Demikian Dr. Mahesa Paranadipa, anggota Dewan Pengawas Yayasan Gema Sadar Gizi ketika menyampaikan pengantar diskusi terbatas menyambut Hari AIDS Sedunia 2011, di Café Nona Bola Menteng Jakarta Pusat. Begitu banyak eksperimen pada hewan coba maupun langsung pada pasien HIV/AIDS telah dilakukan untuk mencari obat penyembuh penyakit  yang mempengaruhi psikologis penduduk dunia saat ini.
Namun hingga saat ini hanya obat-obat Anti Retroviral yang diyakini dapat menghambat perkembangan HIV pada tubuh orang terinfeksi HIV. Begitu baiknya hasil terapi obat retroviral sehingga dapat menekan angka kematian dan angka kesakitan secara bermakna; hal yang secara tidak langsung memperpanjang usia harapan hidup sekaligus memberikan waktu bagi penderita untuk melakukan hal-hal yang produktif. ARV saat ini juga dipandang sebagai alat untuk pencegahan penularan. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa pemberian ARV akan mencegah penularan sebesar 92 %.

Yang sering terlupakan adalah manfaat pemberian nutrisi kepada pasien HIV/AIDS ini. Dr.Tirta Prawita Sari, MSc., selaku Ketua Yayasan Gema Sadar Gizi  yang juga dosen Gizi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta, berkesempatan berbagi beberapa informasi mengungkap manfaat nutrisi ini. Menurut Tirta, HIV dalam tubuh manusia menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi yang akibatnya akan menyebabkan terganggunya metabolisme nutrisi makro (karbo, protein, lemak). Hal ini akan mengakibatkan gangguan metabolisme seperti hiperglikemia, dislipidemia dan hipoalbuminemia. Mediator inflamasi (sitokin) yang dilepaskan juga dapat menyebabkan proteolisis atau pemecahan protein tubuh.  Hal ini  terutama terjadi di otot; inilah yang menyebabkan terjadinya muscle wasting. Gangguan metabolisme dan muscle wasting yang terjadi menyebabkan nutrien tesebut tidak dapat digunakan sebagai energi sehingga status gizi menurun.
Lebih lanjut Tirta menyampaikan buruknya nafsu makan dan meningkatnya kebutuhan tubuh ditambah kehilangan nutrisi, akan menyebabkan suplai dan demand nutrien yang tidak seimbang, padahal nutrisi yang adekuat terbukti mempengaruhi sistem imun. Prinsip terapi nutrisi paliatif adalah memberikan dukungan nutrisi pada pasien end stage yang tujuannya adalah untuk perbaikan kualitas hidup. Sehingga pada saat akhir hidupnya akan dilalui dengan lebih baik. Pasien diizinkan untuk mengkonsumsi makanan apapun yang diinginkan tanpa bertujuan untuk memperbaiki sejumlah parameter laboratorium.
Nutrisi yang baik, yang diberikan dengan penuh kasih sayang, dan dimasak dengan cara yang membangkitkan selera akan membantu meningkatkan asupan nutrisi, sehingga pasien akan menjalani masa akhir hidupnya dengan baik. Sebenarnya nutrisi pada HIV/AIDS mutlak diberikan pada semua stadium kasus HIV, karena akan memberi pengaruh lebih besar, yaitu secara signifikan dapat memperlambat progresifitas penyakit dengan memperbaiki sistem imun. Nutrisi yang adekuat bisa memperbaiki status gizi. Status gizi yang baik berkorelasi positif dengan sistim imun, yaitu komponen utama yang diserang oleh HIV.
Pada bagian diskusi, Dr. Dyah Agustina Waluyo, selaku praktisi yang konsen pada persoalan HIV/AIDS menyampaikan bahwa saat ini kepedulian terhadap para penderita HIV/AIDS di Indonesia saat ini masih kurang, terutama dalam hal bantuan pembiayaan pengobatan, terutama pada pasien yang membutuhkan perawatan.   Ini dibuktikan bahwa saat ini  hanya Jamkesmas dan Jamkesda saja yang menjamin perawatan penderita HIV/AIDS. Bahkan Askes sendiri tidak memberikan ruang jaminan bagi penderita HIV/AIDS, apalagi asuransi komersial. Diskriminasi tampaknya masih terjadi bagi ODHA yang kebetulan PNS; dalam hal ini TNI POLRI lebih maju. Alasan tidak menjamin  menurut Dyah hanya dicari-cari, padahal AIDS saat ini bukan lagi penyakit akibat prilaku semata, tapi penyakit infeksi yang semua orang bisa terkena.. “Maka seyogyanya HIV/AIDS memang dipandang seperti penyakit infeksi, toh dengan adanya ARV, penyakit ini menjadi penyakit yang dapat dikontrol. Prognosis jauh lebih baik dibandingkan kanker darah, misalnya,” saran Dyah lebih lanjut.
Dyah kembali menambahkan bahwa terapi ARV bisa mencegah penularan sebesar 92 persen. Artinya kalau pasien diberi terapi ARV, maka sebenarnya kita mencegah penularan pada yang lain. Dokter umum juga bisa berperan aktif dalam penatalaksanaan HIV/AIDS, terutama untuk melakukan konseling dan menganjurkan testing. Sekaligus tetap berperan untuk pencegahan, dalam hal ini termasuk konseling untuk perubahan prilaku. Peran lain yang lebih hulu adalah peran edukasi pada masyarakat, termasuk edukasi tentang kesehatan reproduksi (di sekolah-sekolah, dll), narkotika dan adiksi, serta tentang HIV/AIDS sendiri.
Dr. Zaenal Abidin, selaku pendiri Yayasan Gema Sadar Gizi, sangat mendukung penyataan pembicara sembelumnya. Karena pentingnya obat Anti Retroviral ini sehingga ia wajib tersedia dan terjaga kesinambungannya. Karena itu pengadaan obat produksi dalam negeri perlu didorong terus. Alasannya, obat dalam negeni akan relative lebih murah, lebih terjamin berkesinambungan dan tidak membuang devisa. Dikatakan relatif murah karena sekarang bahan baku dari luar pun juga mahal serta kita tidak punya biaya  transport dari  luar negeri. Selain itu, obat produksi dalam negeri mempunyai tanggal kadaluarsa ang lebih lama dibanding obat dari luar.
Memang, lanjut. Zaenal, obat dari luar kadang terkesan murah, namun belum termasuk ongkos kirim dan risiko yang wajib ditanggung pembeli bila terjadi  kerusakan atau kehilangan barang mulai pada saat barang-barang berada diatas kapal di pelabuhan yang disebut atau dalam praktik tanggung jawab beralih ke pembeli pada saat lewatnya barang dari pagar kapal di pelabuhan pengapalan yang yang disebut bagi yang menggunakan angkutan laut atau sungai. Selain itu seringkali ada hambatan di imigrasi yang menyebabkan obat bisa tertahan di bandara atau pelabuhan berbulan-bulan. Akibatnya, terjadi kekosongan obat di sarana pelayanan.
Sebetulnya produksi dalam negeri kualitasnya baik. Cuma memang BUMN Farmasi yang memproduksi obat Anti Retroviral di Indonesia perlu mendapat dukungan lebih kuat dan lebih luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia agar mendapatkan kemudahan dalam
memproleh kualifikasi dari WHO dalam memproduksi obat-obat ARV.
Menurut Zaenal yang juga Ketua Umum Terpilih PB IDI ini, pemerintah pun harus memiliki keberanian untuk memakai produksi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan kepada pihak luar. Mungkin pemerintah Indonesia bisa mencontoh India.
Pemerintah lanjut Zaenal seharusnya sudah punya antisipasi bila suatu ketika negara donor mengurangi atau karena sesuatu hal bahkan memutuskan bantuannya ke Indonesia. Dana yang dipakai membeli obat lebih banyak atau semua dari APBN. Tentu jauh lebih baik bila dana APBN ini dipakai untuk membeli obat produksi dalam negeri dibanding digunakan belanja obat Anti Retroviral di luar negeri.
Pemenuhan nutrisi bagi pasien HIV/AIDS memang sangat penting. Dan semua orang di dunia kesehatan memahami peran nurisi dalam mempercepat perbaikan sistem kekebalan pasien HIV/AIDS. Karena itu pula
diusulkan kepada pemerintah agar memasukkan terapi nutrisi ke dalam skema jaminan kesehatan/asuransi kesehatan.
Begitu pentingnya obat Anti Retroviral dan nutrsi bagi pasien HIV/AISD sehingga terapinya harus dijamin dan berjalan bersama, ungkap Zaenal sambil menutup diskusi.

sumber :  http://www.sadargizi.com/?p=594

Thursday 1 December 2011

The 27th CMAAO Congress & 47th Council Meeting


 
THE NATURAL DISASTER RELEATED TO HEALTH PROBLEM :
INDONESIA EXPERIENCE

Fachmi Idris
President of Confideration Medical Association in Asia Oceania
Lectures of Public Health Of Medical Faculty of Sriwijaya University, Indonesia

Experience of disaster has led to management cycles strategies concepts for handling them. Those strategies are based on :
1.       The definition oh the disaster itself, that is whether it consists of sudden impact event or not
2.       The kind if disaster, is it natural or a man made disaster or both and
3.       The loss of lives or economic impact or both 

In “ normal condition”, disaster management cyles must start from preparedness and how to socialize the community about the early warning signs, continuing to prevention and mitigation program, reconstruction until rehabilitation. Actually the disaster management cycles must not start from preparedness. It depends on whwn the impact happened. 

In Indonesia there are two kinds of disasters, namely natural disaster and man made disaster. For the natural disaster, Indonesia has land slides, volcanic eruption, earthquake, tsunami, flood, tropical storm and “small tornadoes” (Indonesia term : Putting beliung) and major epidemic diseases. For the man made disasters, Indonesia has terrorist attacks, railroad accidents,aircraft crashes, sport disasters, fires and shipwrecks.

In the context of health, for example earthquake, the problem in Indonesia when handling the situation related to people displacement and destruction of health facilities. The problem of displacement is the characterof Indonesia people (victims) that prefer to stay close the area of disaster and or stay in houses of relatives near to unsafe area of disaster. The problem for health facilities is that, frequently facilities are damaged and there are significant losses of some medical equipment or laboratory materials. These problems make the health service collapse, and at he same time the children and elderly became most vulnerable without adequate health service. Infected wounds and respiratory problems occur in trapped victims. But, different from tsunami that happened in Aceh Indonesia in2004, many earthquakes in Indonesia did not kill victim massively unless there are bad housing construction in the area of earthquake. 

Another example of natural disaster related to health problrm is sudden flood. It may cause so much death caused by trauma, and it also leaves some severe injury. Hypothermia  and respiratory infection were usual  but not epidemics. There are also problems in providing clean water supply leading the deterioration of sanitation causing an increases of enteric and other water related diseases, like common diarrhea. 

In term of Indonesia experience when natural di sasters happen, the primary problem is the need to rehabilitate the health services and facilities, intensify epidemiological surveillance  and vector control, and increase the public awarness on the true danger of the situation. Based on those experiences, it is important to a high standard, and mitigation measures program in hospitals are vital for avoiding loss of patient and staff, ensuring that facilities and health services will function properly after disaster, and made victims always far away from the area disaster . 


Pre - Conference Seminar
November 10-12-2011, Taipei Taiwan