Sunday 12 April 2020

Relawan Covid 19 (2)



Kemarin sore (8/4/2020) kami kembali mengunjungi RS Darurat Wisma Atlit, kompleks yang kini didedikasikan nyaris sepenuhnya untuk membantu negeri melewati salah satu masa terberatnya. Selain untuk melihat perkembangan RS ini bersama Ketua Terpilih PB IDI Dr Mohammed Adib Khumaidi kami memberikan sedikit arahan dan semangat kepada Rombongan Tim 3 Relawan Dokter yang akan memulai tugasnya selama 1 bulan. 
Ya, negeri ini memang sedang berjuang melewati badai bernama wabah Covid-19. Negeri ini sedang melangkah tertatih mengatasi segala kerusakan akibat sapuan badai Covid-19. Di segala sektor; ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, dan bahkan hukum. Dan yang paling rusak parah tentu saja sektor kesehatan. Yang lebih menakutkan adalah fakta bahwa badai ini masih belum berlalu. Bahkan, mencapai puncaknya saja belum.
Saya dan orang-orang di sekitar saya tentu juga tak luput dari ganasnya badai ini. Satu per satu, guru-guru, rekan sejawat, dan juga tetangga divonis positif Covid-19. Beberapa bahkan kemudian gugur menjadi syahid dalam perjuangan melawannya. 
Kunjungan ke wisma atlit ini juga adalah berbagi kebahagiaan dengan donasi yang diberikan beberapa donatur, mengunjugi sejawat2, kakak-kakak dan adik-adik yang bekerja dari segi mananajemen utk memastikan sistem di RS ini berjalan dan terkoneksi dengan sistem yang ada diluar sana agar dapat memaksimalkan pelayanan utk melayani semua pasien yang masuk ke fasilitas ini. Bersama Dr Adib, Dr Tati Bangsa Amalia Makmur Haswan dan Dr Yanti berbagi kabar dan tawa untuk memompa endorphin agar tetap bahagia dan berbagi kebahagian ditengah badai ini.
Sungguh, badai ini memutarbalikkan segala hal yang selama ini saya anggap sebagai kewajaran hidup. Berkantor tak lagi dimungkinkan. Berkumpul bersama keluarga dan para sahabat di Keluarga Rahayu tak lagi bisa dilakukan sebagaimana dahulu. Anak-anak harus belajar di rumah dengan pengawasan orang tua sendiri. Dahulu, kami biasa berenang dan berolahraga di tempat publik, namun saat ini hal itu tak bisa lagi. Dan tentu saja, saya juga menyaksikan betapa orang-orang kecil yang menjalani hidup dari hari ke hari, mendadak jadi kehilangan sumber penghidupannya.
Badai ini juga memaksa saya mendefinisikan kembali iman saya. Bagaimana tidak, Tuhan telah mengosongkan bangunan-bangunan yang selama ini dianggap sebagai rumah-Nya. Apakah Tuhan telah mengusir kita agar tak lagi masuk rumah-Nya? Bisa jadi Tuhan telah bosan akan ritus-ritus sosial yang mengatasnamakan-Nya, padahal adalah untuk memuaskan ego kita sendiri. Ritual shalat Jumat yang menjadi kewajiban setiap minggu, saat ini telah ditiadakan. Tarawih berjamaah, buka puasa bersama, dan bahkan Shalat Idul Fitri juga mungkin tak bisa dilakukan lagi. Kita dipaksa untuk beragama sendirian, menemui-Nya dalam kesendirian dan kesunyian diri saja.
Lalu saya teringat salah satu hadits qudsi; Tuhan ada di sisi orang-orang sakit, orang-orang lapar, dan orang-orang haus. Ya, mungkin Tuhan sedang menyuruh kita meninggalkan keriuhan ritus sosial yang selama ini diagungkan. Tuhan ingin kita bersama-sama berpaling pada hal-hal sederhana yang bisa kita lakukan; rawatlah yang sakit, beri makan pada yang lapar, beri pakaian pada yang butuh, bagi tawa untuk yang sedih, sediakan hati untuk yang sendiri.
Juga, beri istirahat pada jiwa kita sendiri, agar bisa sejenak berduaan dengan Tuhan-Nya.
Selamat berjuang para sejawat, Insya Allah terbaik buat semuanya 🙏🙏🙏🙏