Friday 23 December 2011

Ibu, Peletak Dasar Prilaku Sehat dan Gizi Seimbang dalam Keluarga

Menjadi ibu rumah tangga sering dianggap pekerjaan yang remeh-temeh oleh kebanyakan orang. Anggapan ibu rumah tangga yang hanya bergelut dengan “dapur” dan “kasur” kadang membuat sebagian ibu merasa minder jika ditanya mengenai pekerjaan dengan mengatakan “aku saya cuma Ibu rumah tangga”. Apalagi jika latar ibu rumah tangga tersebut seorang yang berpendidikan tinggi, dianggap punya potensi untuk berkarir. Seringkali terdengar komentar yang ditujukan kepada wanita yang memilih mengabdikan hidupnya untuk keluarga ini dengan nada yang menyayangkan. Misalnya “Sayang ya sudah sekolah tinggi-tinggi cuma jadi ibu rumah tangga”.  Demikian Dr. Fitria N. Pulukadang mengawali peresentasinya pada diskusi terbatas yang diselenggarakan Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi , dalam rangka Hari Ibu ke 83 Tahun 2011, di Café Nona Bola, Jakarta Pusat, Senin pagi (19/12).
Lebih lanjut, Fitria yang kini menjadi aktivis dan Pengurus Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, mengatakan ibu adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya, tempat dimana anak mendapat asuhan dan diberi pendidikan pertama bahkan mungkin sejak dalam kandungan. Seorang ibu secara sadar atau tak sadar telah memberi pendidikan kepada sang janin, karena menurut penelitian bahwa bayi dalam kandungan sudah bisa mendengar bahkan ikut merasakan suasana hati sang ibunda. Belum lagi pendidikan yang diberikan pada saat ibu menyusui bayinya.Tak heran jika ikatan emosional dari seorang ibu kepada anak tampak lebih dibanding dengan dari ayah. Melihat pentingnya peran ibu, ibu hamil, dan bahkan calon ibu, sehingga ia harus mendapatkan perhatian serius.Kita harus bisa melindungi ibu dari berbagai himpitan masalah gizi dan kesehatan.
Dari sisi status kesehatan , angka kematian ibu (AKI) Indonesia secara Nasional dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2007, dimana menunjukkan penurunan yang signifikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan SDKI survei terakhir tahun 2007 AKI Indonesia sebesar 228 per 100.000 Kelahiran Hidup, meskipun demikian angka tersebut masih tertinggi di Asia.Prevalensi nasional kurang energi kronis pada perempuan usia subur (berdasarkan LILA yang disesuaikan dengan umur) adalah 13,6%.  Sebanyak 10 provinsi mempunyai prevalensi kurang energi kronis pada perempuan usia subur di atas prevalensi nasional, yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Sementara itu, nilai rerata nasional Kadar Hemoglobin Pada Perempuan Dewasa adalah 13,00 g/dl. Sebanyak 17 provinsi mempunyai nilai rerata Kadar Hemoglobin pada perempuan dewasa dibawah nilai rerata nasional, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Lampung, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara. Sedangkan kondisi anemia pada ibu hamil memperbesar resiko kematian saat melahirkan serta penyakit pasca melahirkan. Jika masalah anemia pada perempuan dewasa ini tidak juga diatasi maka angka kematian ibu (AKI) masih dikhawatirkan sulit untuk diturunkan.
Masalah kesehatan lain yang dihadapi oleh kaum ibu atau perempuan adalah infeksi HIV/AIDS. Jumlah perempuan yang terinfeksi HIV AIDS di Indonesia terus meningkat dengan cepat. Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 40.000 ibu rumah tangga yang  terkena HIV AIDS karena tertular dari suami mereka. Semuanya itu menujukkan masih rendahnya perhatian dan belum bisanya kita menempatkan ibu pada kedudukan yang terpandang, ungkap Fitria.
Pada kesempatan yang sama Dr. Tirta Prawita Sari, MSc, Ketua Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi  mengungkapkan bahwa golongan yang paling rentan terhadap kekurangan gizi adalah ibu hamil, bayi, dan balita. Bahkan jauh sebelum ia hamil terkadang sudah rentan. Tingginya prevalensi anemia dan kurang energi protein pada ibu hamil, atau bahkan juga bagi kelompok wanita usia subur, menjadi petunjuk kerentanan itu.Tak hanya itu, buruknya sistem pelayanan kesehatan ibu hamil, persalinan, dan angka kematian ibu yang masih tinggi, serta tidak masuknya kehamilan dalam item yang ditanggung oleh sistem asuransi, menjadi pertanda lain betapa bangsa ini abai dalam mengelola asetnya. Membiarkan ibu hamil dan juga perempuan usia subur berada dalam keadaan kurang gizi berarti telah menempatkan bangsa ini dalam bahaya, imbuh Tirta.Tirta, yang juga dosen Ilmu Gizi Klinik Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta, menyatakan bahwa ibu atau perempuan usia subur merupakan investasi sempurna bila ingin mendapatkan bangsa dengan status gizi yang baik. Kehadirannya bukan hanya karena menjadi ladang persemaian benih atau tempat menumbuhkan generasi baru, namun peran lain yang lebih mendasar.
Ibu adalah peletak dasar segala prilaku sehat di rumah. Seorang ibu yang telah tercerahkan oleh pentingnya nutrisi dan kesehatan akan menjadi lokomotif bagi keluarga dalam menjamin ketersedian gizi seimbang. Bahkan dalam keterbatasan sumber daya ekonomi, seorang ibu yang telah memahami gizi mampu menyediakan makanan dengan gizi seimbang, karena sejatinya, gizi seimbang bukanlah makanan mewah yang begitu sulit untuk diperoleh. Gizi seimbang haruslah dapat dipenuhi oleh kelompok sosial ekonomi apapun dan sebaiknya haruslah mengikuti kearifan lokal, sehingga mudah diperoleh oleh keluarga.Pendidikan secara kontinyu pada kelompok ibu dan kemudian diterapkan akan menjadi “proyek” efektif dan efisien untuk mengatasi masalah gizi di Indonesia. Tak perlu program ambisius yang menyita banyak dana, cukup siapkan saja sepasukan ibu sadar gizi, maka bangsa ini insya Allah akan terlindungi dari segala masalah gizi. Sebagai contoh adalah pemerintah Gambia yang telah berhasil mengatasi masalah kurang energi protein pada wanita hamil. Mereka menyediakan biskuit tinggi energi bagi wanita hamil untuk mengatasi masalah tingginya prevalensi bayi berat lahir rendah, dan upaya ini ternyata berhasil menurunkan prevalensi tersebut hingga 50% (1997).
Contoh lain menurut Tirta, yang berkaitan ketepatan target dan intervensi bisa dipelajari dari pemerintah Nigeria. Analisis masalah yang kuat terhadap masalah gizi akan menghasilkan problem solving yang efektif. Wanita di desa Kwaren Sabre, Nigeria memiliki beban kerja yang sangat tinggi. Setiap harinya mereka harus bekerja di ladang, akibatnya tak banyak waktu dan energi yang tersedia untuk mengurus anak-anak mereka, sehingga banyak ditemukan anak dengan status gizi kurang. Kondisi ini kemudian disikapi dengan mengurangi tanggung jawab ibu untuk bekerja di luar rumah, supaya mereka memiliki banyak waktu untuk memperhatikan dan mengasuh anak-anaknya. Pengurangan beban kerja ini berhasil menurunkan angka malnutrisi sebanyak 10% dalam waktu satu tahun (1995 – 1996).
Dari contoh di atas, jelas menunjukkan bahwa gizi seimbang itu tak hanya meliputi penyediaan dan proses pengolahan, namun bagaimana ia dihantarkan hingga masuk kedalam sistem pencernaan anak. Persoalan utama dari rendahnya asupan gizi seimbang pada anak, bukan hanya terletak pada ketersediaan pangan yang baik dan penanganan penyakit infeksi, tetapi lebih pada kecerdasan ibu dalam memberikan pendekatan persuasif dan ketersedian waktu untuk mencurahkan perhatian terhadap anak agar mau menyantap menu seimbang tersebut.Upaya persuasi tersebut bukanlah hal sederhana, mengingat setiap anak memiliki selera dan kemerdekaaan dalam menentukan kesukaan mereka. Dan agar upaya ini berhasil, seorang ibu juga harus mampu mengendalikan faktor eksternal anak yang akan mempengaruhi selera anak. Ibu adalah pembentuk pola makan seimbang bagi anak. Seorang ibu yang tidak menyukai ikan biasanya secara tak sadar akan menularkan ketidak-sukaan tersebut pada anaknya. Ibu yang melek gizi akan menyiapkan preferensi anak dari sejak dini, ia akan menyiapkan anak untuk hanya menyukai makanan bergizi baik. Ibu adalah peletak dasar prilaku sehat di rumah dan proteksi utama masalah kesehatan sebuah keluarga dari segala bahaya kesehatan, ungkap Tirta dalam menutup paparannya.

sumber : www.sadargizi.com

Nutrisi dan Anti Retroviral bagi Masa Depan Terapi Sang Pembawa Virus

(Menyambut Hari AIDS Se-Dunia 1 Desember 2011 – Yayasan Gema Sadar Gizi)
Jakarta (28/11-2011).  Penyakit AIDS pertama sekali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, oleh CDC Amerika Serikat yang menemukan Pneumonia Pneumositis pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles. Sejak saat itu juga teridentifikasi  penyebabnya yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV). Terhitung sudah lebih dari 30 tahun perjalanan kasus HIV/AIDS menghantui dunia kedokteran dan masyarakat dunia sebagai suatu penyakit yang belum ditemukan obat penyembuhnya.
Saat ini tercatat kurang lebih 5,2 juta penderita HIV/AIDS seluruh dunia (WHO) yang pada tahun sebelumnya hanya tercatat 1,2 juta kasus. Demikian Dr. Mahesa Paranadipa, anggota Dewan Pengawas Yayasan Gema Sadar Gizi ketika menyampaikan pengantar diskusi terbatas menyambut Hari AIDS Sedunia 2011, di Café Nona Bola Menteng Jakarta Pusat. Begitu banyak eksperimen pada hewan coba maupun langsung pada pasien HIV/AIDS telah dilakukan untuk mencari obat penyembuh penyakit  yang mempengaruhi psikologis penduduk dunia saat ini.
Namun hingga saat ini hanya obat-obat Anti Retroviral yang diyakini dapat menghambat perkembangan HIV pada tubuh orang terinfeksi HIV. Begitu baiknya hasil terapi obat retroviral sehingga dapat menekan angka kematian dan angka kesakitan secara bermakna; hal yang secara tidak langsung memperpanjang usia harapan hidup sekaligus memberikan waktu bagi penderita untuk melakukan hal-hal yang produktif. ARV saat ini juga dipandang sebagai alat untuk pencegahan penularan. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa pemberian ARV akan mencegah penularan sebesar 92 %.

Yang sering terlupakan adalah manfaat pemberian nutrisi kepada pasien HIV/AIDS ini. Dr.Tirta Prawita Sari, MSc., selaku Ketua Yayasan Gema Sadar Gizi  yang juga dosen Gizi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta, berkesempatan berbagi beberapa informasi mengungkap manfaat nutrisi ini. Menurut Tirta, HIV dalam tubuh manusia menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi yang akibatnya akan menyebabkan terganggunya metabolisme nutrisi makro (karbo, protein, lemak). Hal ini akan mengakibatkan gangguan metabolisme seperti hiperglikemia, dislipidemia dan hipoalbuminemia. Mediator inflamasi (sitokin) yang dilepaskan juga dapat menyebabkan proteolisis atau pemecahan protein tubuh.  Hal ini  terutama terjadi di otot; inilah yang menyebabkan terjadinya muscle wasting. Gangguan metabolisme dan muscle wasting yang terjadi menyebabkan nutrien tesebut tidak dapat digunakan sebagai energi sehingga status gizi menurun.
Lebih lanjut Tirta menyampaikan buruknya nafsu makan dan meningkatnya kebutuhan tubuh ditambah kehilangan nutrisi, akan menyebabkan suplai dan demand nutrien yang tidak seimbang, padahal nutrisi yang adekuat terbukti mempengaruhi sistem imun. Prinsip terapi nutrisi paliatif adalah memberikan dukungan nutrisi pada pasien end stage yang tujuannya adalah untuk perbaikan kualitas hidup. Sehingga pada saat akhir hidupnya akan dilalui dengan lebih baik. Pasien diizinkan untuk mengkonsumsi makanan apapun yang diinginkan tanpa bertujuan untuk memperbaiki sejumlah parameter laboratorium.
Nutrisi yang baik, yang diberikan dengan penuh kasih sayang, dan dimasak dengan cara yang membangkitkan selera akan membantu meningkatkan asupan nutrisi, sehingga pasien akan menjalani masa akhir hidupnya dengan baik. Sebenarnya nutrisi pada HIV/AIDS mutlak diberikan pada semua stadium kasus HIV, karena akan memberi pengaruh lebih besar, yaitu secara signifikan dapat memperlambat progresifitas penyakit dengan memperbaiki sistem imun. Nutrisi yang adekuat bisa memperbaiki status gizi. Status gizi yang baik berkorelasi positif dengan sistim imun, yaitu komponen utama yang diserang oleh HIV.
Pada bagian diskusi, Dr. Dyah Agustina Waluyo, selaku praktisi yang konsen pada persoalan HIV/AIDS menyampaikan bahwa saat ini kepedulian terhadap para penderita HIV/AIDS di Indonesia saat ini masih kurang, terutama dalam hal bantuan pembiayaan pengobatan, terutama pada pasien yang membutuhkan perawatan.   Ini dibuktikan bahwa saat ini  hanya Jamkesmas dan Jamkesda saja yang menjamin perawatan penderita HIV/AIDS. Bahkan Askes sendiri tidak memberikan ruang jaminan bagi penderita HIV/AIDS, apalagi asuransi komersial. Diskriminasi tampaknya masih terjadi bagi ODHA yang kebetulan PNS; dalam hal ini TNI POLRI lebih maju. Alasan tidak menjamin  menurut Dyah hanya dicari-cari, padahal AIDS saat ini bukan lagi penyakit akibat prilaku semata, tapi penyakit infeksi yang semua orang bisa terkena.. “Maka seyogyanya HIV/AIDS memang dipandang seperti penyakit infeksi, toh dengan adanya ARV, penyakit ini menjadi penyakit yang dapat dikontrol. Prognosis jauh lebih baik dibandingkan kanker darah, misalnya,” saran Dyah lebih lanjut.
Dyah kembali menambahkan bahwa terapi ARV bisa mencegah penularan sebesar 92 persen. Artinya kalau pasien diberi terapi ARV, maka sebenarnya kita mencegah penularan pada yang lain. Dokter umum juga bisa berperan aktif dalam penatalaksanaan HIV/AIDS, terutama untuk melakukan konseling dan menganjurkan testing. Sekaligus tetap berperan untuk pencegahan, dalam hal ini termasuk konseling untuk perubahan prilaku. Peran lain yang lebih hulu adalah peran edukasi pada masyarakat, termasuk edukasi tentang kesehatan reproduksi (di sekolah-sekolah, dll), narkotika dan adiksi, serta tentang HIV/AIDS sendiri.
Dr. Zaenal Abidin, selaku pendiri Yayasan Gema Sadar Gizi, sangat mendukung penyataan pembicara sembelumnya. Karena pentingnya obat Anti Retroviral ini sehingga ia wajib tersedia dan terjaga kesinambungannya. Karena itu pengadaan obat produksi dalam negeri perlu didorong terus. Alasannya, obat dalam negeni akan relative lebih murah, lebih terjamin berkesinambungan dan tidak membuang devisa. Dikatakan relatif murah karena sekarang bahan baku dari luar pun juga mahal serta kita tidak punya biaya  transport dari  luar negeri. Selain itu, obat produksi dalam negeri mempunyai tanggal kadaluarsa ang lebih lama dibanding obat dari luar.
Memang, lanjut. Zaenal, obat dari luar kadang terkesan murah, namun belum termasuk ongkos kirim dan risiko yang wajib ditanggung pembeli bila terjadi  kerusakan atau kehilangan barang mulai pada saat barang-barang berada diatas kapal di pelabuhan yang disebut atau dalam praktik tanggung jawab beralih ke pembeli pada saat lewatnya barang dari pagar kapal di pelabuhan pengapalan yang yang disebut bagi yang menggunakan angkutan laut atau sungai. Selain itu seringkali ada hambatan di imigrasi yang menyebabkan obat bisa tertahan di bandara atau pelabuhan berbulan-bulan. Akibatnya, terjadi kekosongan obat di sarana pelayanan.
Sebetulnya produksi dalam negeri kualitasnya baik. Cuma memang BUMN Farmasi yang memproduksi obat Anti Retroviral di Indonesia perlu mendapat dukungan lebih kuat dan lebih luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia agar mendapatkan kemudahan dalam
memproleh kualifikasi dari WHO dalam memproduksi obat-obat ARV.
Menurut Zaenal yang juga Ketua Umum Terpilih PB IDI ini, pemerintah pun harus memiliki keberanian untuk memakai produksi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan kepada pihak luar. Mungkin pemerintah Indonesia bisa mencontoh India.
Pemerintah lanjut Zaenal seharusnya sudah punya antisipasi bila suatu ketika negara donor mengurangi atau karena sesuatu hal bahkan memutuskan bantuannya ke Indonesia. Dana yang dipakai membeli obat lebih banyak atau semua dari APBN. Tentu jauh lebih baik bila dana APBN ini dipakai untuk membeli obat produksi dalam negeri dibanding digunakan belanja obat Anti Retroviral di luar negeri.
Pemenuhan nutrisi bagi pasien HIV/AIDS memang sangat penting. Dan semua orang di dunia kesehatan memahami peran nurisi dalam mempercepat perbaikan sistem kekebalan pasien HIV/AIDS. Karena itu pula
diusulkan kepada pemerintah agar memasukkan terapi nutrisi ke dalam skema jaminan kesehatan/asuransi kesehatan.
Begitu pentingnya obat Anti Retroviral dan nutrsi bagi pasien HIV/AISD sehingga terapinya harus dijamin dan berjalan bersama, ungkap Zaenal sambil menutup diskusi.

sumber :  http://www.sadargizi.com/?p=594

Thursday 1 December 2011

The 27th CMAAO Congress & 47th Council Meeting


 
THE NATURAL DISASTER RELEATED TO HEALTH PROBLEM :
INDONESIA EXPERIENCE

Fachmi Idris
President of Confideration Medical Association in Asia Oceania
Lectures of Public Health Of Medical Faculty of Sriwijaya University, Indonesia

Experience of disaster has led to management cycles strategies concepts for handling them. Those strategies are based on :
1.       The definition oh the disaster itself, that is whether it consists of sudden impact event or not
2.       The kind if disaster, is it natural or a man made disaster or both and
3.       The loss of lives or economic impact or both 

In “ normal condition”, disaster management cyles must start from preparedness and how to socialize the community about the early warning signs, continuing to prevention and mitigation program, reconstruction until rehabilitation. Actually the disaster management cycles must not start from preparedness. It depends on whwn the impact happened. 

In Indonesia there are two kinds of disasters, namely natural disaster and man made disaster. For the natural disaster, Indonesia has land slides, volcanic eruption, earthquake, tsunami, flood, tropical storm and “small tornadoes” (Indonesia term : Putting beliung) and major epidemic diseases. For the man made disasters, Indonesia has terrorist attacks, railroad accidents,aircraft crashes, sport disasters, fires and shipwrecks.

In the context of health, for example earthquake, the problem in Indonesia when handling the situation related to people displacement and destruction of health facilities. The problem of displacement is the characterof Indonesia people (victims) that prefer to stay close the area of disaster and or stay in houses of relatives near to unsafe area of disaster. The problem for health facilities is that, frequently facilities are damaged and there are significant losses of some medical equipment or laboratory materials. These problems make the health service collapse, and at he same time the children and elderly became most vulnerable without adequate health service. Infected wounds and respiratory problems occur in trapped victims. But, different from tsunami that happened in Aceh Indonesia in2004, many earthquakes in Indonesia did not kill victim massively unless there are bad housing construction in the area of earthquake. 

Another example of natural disaster related to health problrm is sudden flood. It may cause so much death caused by trauma, and it also leaves some severe injury. Hypothermia  and respiratory infection were usual  but not epidemics. There are also problems in providing clean water supply leading the deterioration of sanitation causing an increases of enteric and other water related diseases, like common diarrhea. 

In term of Indonesia experience when natural di sasters happen, the primary problem is the need to rehabilitate the health services and facilities, intensify epidemiological surveillance  and vector control, and increase the public awarness on the true danger of the situation. Based on those experiences, it is important to a high standard, and mitigation measures program in hospitals are vital for avoiding loss of patient and staff, ensuring that facilities and health services will function properly after disaster, and made victims always far away from the area disaster . 


Pre - Conference Seminar
November 10-12-2011, Taipei Taiwan 

Friday 11 November 2011

Cinta Gizi Bagi Anak Bangsa Untuk Indonesia Lebih Sehat

(Refleksi kerakyatan Hari Kesehatan Nasional 2011)

Membaca sebuah artikel di Kompas kemarin, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2011, artikel yang berjudul “Indonesia Hadapi Gizi Buruk dan Obesitas”. Judul artikel yang  sudah banyak diulas oleh banyak media nasional di tahun 2011 ini. Mengulas permasalahan gizi anak Indonesia yang memang sudah mendesak untuk diselesaikan (diulas juga health.kompas.com pada tanggal 25 Juli 2011 yang lalu).

Permasalahan dari sekian banyak masalah yang menjadi pekerjaan rumah utama bagi pemerintah Indonesia khususnya Kementrian Kesehatan sebagai leading sector, dengan tetap  membutuhkan peran semua komponen bangsa. Namun khusus bulan ini, persoalan gizi dan kesehatan akan menjadi topik sentral dari pembicaran kalangan elit pemerintahan sebagai dampak ditetapkannya tanggal 12 November  sebagai Hari Kesehatan Nasional.Hari Kesehatan Nasional (HKN) tahun ini bertema “Indonesia Cinta Sehat”. Demikian Dr. Mahesa Paranadipa, M.H  dalam prawacana diskusinya.

Diskusi terbatas yang diselenggarakan di Cafe Nona Bola Menteng (10-11-2011) ini, dihadiri oleh segenap pengurus Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi. Sebagai pemandu diskusi Mahesa kembali menyatakan bahwa pengertian kata cinta itu selalu dipersepsikan sebagai suatu perasaan yang tulus keluar dari hati setiap manusia terhadap sesuatu yang dianggapnya paling berharga. Kata cinta memiliki makna yang lebih mendalam daripada kata sayang. Maka jika kata cinta disandingkan dengan objek sehat, tentunya akan memberi makna betapa berharganya keadaan sehat, yang jika merujuk kepada definisi WHO (1950), sehat adalah suatu keadaan sehat jasmani, rohani dan sosial yang merupakan aspek positif dan tidak hanya bebas dari penyakit serta kecacatan yang merupakan aspek negative. Kata cinta kemudian juga layak disandingkan dengan pengorbanan, demi untuk mendapatkan kesehata yang telah menjadi prioritas utama dalam hidupnya, maka seseorang rela mengupayakan apapun untuk mendapatkannya dan berupaya keras untuk mempertahankannya. Kembali kepada tema “Indonesia Cinta Sehat”, dalam kata pengantar Panduan HKN 2011 disebutkan “Melalui tema ini diharapkan dapat meningkatkan semangat, kepedulian, komitmen dan gerakan nyata pembangunan kesehatan yang harus terus diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa". Hal ini, jika dihubungakan dengan artikel malnutrisi Kompas (10/11/2011), harus memberikan semangat gerakan nyata untuk memperbaiki permasalahan gizi, terutama gizi anak yang tentunya akan mempengaruhi keadaan generasi penerus bangsa.

Sementara itu Dr. Moh. Adib Khumaidi, SpOT yang juga merupakan pengurus yayasan menyitir hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan, prevalensi anak balita dengan berat kurang akibat kurangnya asupan gizi sebesar 17,9%, kependekan 35,6%, kekurusan 13,3%, dan kegemukan 14%. Gangguan pertumbuhan anak balita itu sejak usia 6 bulan. Gangguan pertumbuhan berupa berat kurang, kependekan, dan kekurusan banyak dialami anak di desa, orantua berpendidikan rendah, serta anak petani, nelayan, atau buruh.

Sebaliknya, kegemukan dominan pada anak perkotaan yang orangtuanya mapan. Pendidikan orangtua kurang berpengaruh. “Gangguan kecerdasan akibat kurang gizi berdampak seumur hidup, sedangkan kelebihan gizi hanya sementara,” kata Ketua Divisi Tumbuh Kembang Anak dan Remaja RSU Soetomo, Ahmad Suryawan. Hal seruap juga pernah disampaikan oleh Prof.Razak Thaha pada diskusi launching Yayasan Gema Sadar Gizi pada Juni 2010 yang lalu. Launching yang saat itu sempat dihadiri oleh almarhum Franky Sahilatua (semoga mendapat ketenangan disisiNya).

Walaupun data Riskesdas 2010 ini mendapat kritikan dari Panji Hadisoemarto (seorang pelajar Kesehatan Masyarakat Global, Universitas Harvard) yang ditulis di Kompasiana.com tanggal 7 April 2011, setidaknya data tersebut memberikan dasar untuk mengambil keputusan bagi komponen bangsa yang peduli terhadap permasalahan gizi. Salah satu dari komponen bangsa itu adalah Yayasan Gema Sadar Gizi.

Akhir-akhir ini, beberapa berita di media nasional memuat berita mengenai gizi buruk. Seperti  kasus gizi buruk yang menimpa balita 11 bulan di jalan Bonto Duri Makassar, dimuat di Fajar Online 22 Oktober 2011. Menjadi ironis karena terjadi di daerah yang merupakan lumbung padi nasional. Selain itu,  sebanyak 9.378 balita mengalami gizi buruk di Banten, dimuat di suarajabar.com 11November 2011. Salah satu provinsi yang juga merupakan lumbung padi nasional serta letaknya lebih dekat kepada Ibukota. Dan yang lebih ironis adalah berita mengenai balita berumur 3 tahun yang mengalami gizi buruk kemudian di rawat di RS Koja Jakarta Utara, dimuat di tempointeraktif.com 25 Agustus 2011. DI Jakarta, dimana perputaran uang terbesar di Republik ini ternyata hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki "kasta ekonomi" lebih tinggi

Dr.Zaenal Abidin, selaku pendiri yayasan, selalu menyampaikan bahwa jika persoalan gizi pada anak pada periode emas usia di bawah dua tahun dan pada masa kehamilan  tidak juga tuntas diselesaikan maka siap-siap kita akan mendapatkan generasi dengan "otak kosong". Generasi dengan otak kosong hanya akan menjadi beban masyarakatnya karena akan menjadi generasi kurang produktif. Bahkan jika diberi setimulus sebanyak apa pun kepadanya, perkembangan kecerdasannya tetap lambat.

Pemerintah dan komponen bangsa yang lain harus bahu membahu untuk mencegah agar otak kosong ini tidak terjadi. Walaupun fakta ironis menyebutkan Human Development Index (HDI) Indonesia tahun 2011 ini menurun dari peringkat 109 pada tahun 2010 menjadi 128 dari 187 negara. Posisi yang lebih rendah dibandingkan Negara lain di ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand, dan Filipina (Data UNDP,2011). Lebih lanjut, Dr.Zaenal menambahkan pemikiran mengenai solusi problematika gizi di negeri ini, diantarnya : (1) data dan pemetaan yang jelas mengenai kantong-kantong gizi kurang dan gizi buruk seluruh Indonesia; (2) pelaksanaan program harus terencana, mulai dari kegitan promotif-preventif-kuratif-rehabilitatif gizi.; (3) memaksimalkan potensi masyarakat dalam melakukan solidaritas sosial gizi dan; (4) memelopori/mengkoordinasikan dalam setiap aktivitas pemberdayaan gizi yang dilakukan oleh lembaga masyarakat

Sementara itu, Dr.Tirta Prawita Sari, MSc (Ketua Yayasan Gema Sadar Gizi), menyatakan masalah gizi di Indonesia telah mengalami beban ganda. Gizi kurang belum selesai  (tetap banyak) namun di sisi lain gizi lebih memiliki grafik yang bergerak naik.

Tirta mengatakan bahwa pola asuh keluarga adalah salah satu upaya yang cukup strategis dalam pengentasan beban ganda gizi ini. Pola asuh tidak hanya bergantung pada peranan ibu, namun dukungan ayah dan lingkungan pun sangat dibutuhkan. Hal lain yang juga sangat penting adalah bagaimana memaksimalkan kearifan lokal/bahan gizi di sekitar tempat tinggal kita sebagai sumber daya dalam pemenuhan gizi anak. Perlu diketahui bahwa bahan lokal tidak kalah bahkan nilai gizinya bisa jadi lebih baik dibanding bahan makan pabrikan.

Selanjutnya, Tirta menyampaikan yayasan Gema Sadar Gizi sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada pembinaan gizi berupa edukasi dan pola asuh gizi kepada masyarakat, mengharapkan agar pemerintahdapat memaksimalkan partisipasi LSM  yang konsen dalam persoalan gizi, sehingga cita dan harapan dari HKN 2011 ini dapat dicapai.--

12/11/2011 Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi

Thursday 10 November 2011

VIRUS HEPATITIS A

Informasi  mengenai terjangkitnya infeksi Hepatitis virus akut A di salah satu SMAK Negeri di Depok  memang cukup mengagetkan. Sampai saat ini berita dari media menyebutkan sudah 68 siswa yang terserang infeksi Hepatitis A tersebut bahkan sudah ada 3 guru yang juga turut terinfeksi. Bahkan saat ini sekolah diliburkan selama 1 minggu.

Kita tahu bahwa infeksi hepatitis A merupakan infeksi yang endemis di masyarakat kita, rasanya di akhir musim kemarau ini, saya juga sudah menangani beberapa kasus hepatitis A. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan beberapa hal yang memang perlu diketahui mengenai penyakit ini.
Hepatitis A adalah infeksi hati yang disebabkan oleh virus hepatitis A,  ditularkan melalui makanan dan minuman dan juga melalui kontak langsung. Selain itu hubungan seksual juga bisa menjadi penyebab tertular hepatitis A jika melakukan sekusual secara anal atau oral. Virus ini  terdapat pada feses pasien yang terinfeksi, oleh karena itu makanan dan minuman menjadi media utama penyebab penularan infeksi ini. Kasus di Depok memang masih menunggu hasil penelitian yang dilakukan tetapi saya menduga berasal dari makanan atau minuman yang tercemar. Karena sebenarnya tidak mudah untuk tertular dari satu orang ke orang lain yang hanya bertemu di sekolah.

Pasien dengan hepatitis A, biasanya datang sudah kuning dan BAK seperti air teh. Sebelumnya pasien mengalami common cold, seperti orang yang mengalami gejala flu, sakit2 badan, mual dan kadang disertai muntah, nafsu makan menurun dan lemas . Pasien juga merasakan nyeri di perut kanan atas karena memang pasien dengan infeksi hepatitis A yang meradang adalah ilvernya yang sebagian besar berada di perut kanan atas. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan kadar bilirubin dan peningkatan yang tinggi dari SGOT dan SGPT. Pemeriksaan antibodi terhadap virus hepatitis A (anti HAV) yang memastikan bahwa seseorang tersebut terjangkit infeksi heatitis A.
Masa inkubasi yaitu masa masuknya penyakit sampai timbul gejala berlangsung antara 2-6 minggu. Penyakit ini bisa sembuh total dan yang penting pasien harus istirahat total. Obat-obat yang diberikan sifatnya hanya menghilangkan gejala yang muncul misal, jika diare diberikan obat anti diare, kalau mual diberikan anti mual jika demam diberikan obat anti demam jika lemas diberikan vitamin dan asupan makannya diperhaikan. Pasien memang perlu diisolasi dan jangan tidur sekamar dengan orang sehat, di RS pun biasanya pasien tidur hanyak sendiri di kamar dan dipisah dengan pasien lain. Sebagian pasien memang tidak perlu dirawat tetapi jika mual dan muntah dan tidak mau makan sebaiknya memang dirawat untuk mendapat infus cairan dan makanan.

Hepatitis virus A tidak bisa menjadi hepatitis B. Karena memang virus penyebabnya berbeda. Oleh karena itu kalau pernah divaksinasi oleh vaksin hepatitis B tidak berarti juga sudah terlindungi dari  infeksi virus hepatitis A. Tetapi bisa saja dalam satu kasus pasien mengalami 2 macam infeksi yaitu infeksi virus B dan juga hepatitis virus A.  Pencegahan yang terpenting adalah hidup sehat dengan makan yang teratur dan cukup gizi, istirahat cukup dan banyak mengkonsumsi buah dan sayur-sayuran. Cuci tangan pakai sabun yang rutin, sebelum dan sesudah makan dan setelah keluar dari toilet, apalagi penyakit ini tertular melalui makanan dan minuman.


Ari F Syam
Praktisi Kesehatan





Sumber : Milist Wartawan Kesehatan

Thursday 27 October 2011

Konsumsi Ikan Cegah Sakit Mental

TRIBUNNEWS.COM - Sebuah penelitian menyebutkan, konsumsi ikan ternyata dapat mencegah kelelahan mental hingga penyakit demensia. Ini karena ikan dapat meningkatkan aliran darah ke otak dengan mengurangi tingkat kelelahan mental setelah orang melakukan tugas-tugas sulit.
Dari percobaan yang dilakukan ilmuwan dari Universitas Northumbria, Inggris terlihat kandungan asam lemak omega 3 dari ikan dapat membawa efek baik pada reaksi otak peserta penelitian yang berusia 18 sampai 35 tahun.
"Penemuan ini bisa memiliki implikasi untuk fungsi mental di kemudian hari. Bukti menunjukkan bahwa secara teratur makan ikan berminyak dapat mencegah penurunan kognitif dan demensia, sebab mereka dapat meningkatkan aliran darah ke otak dengan baik," jelas pemimpin penelitian, Dr Philippa Jackson.

Menurutnya hasil penelitian ini juga menunjukkan betapa ikan juga sangat berpengaruh memperbaiki mental lansia. "Jika lansia saja manfaatnya sudah besar, maka manfaatnya akan lebih besar lagi bagi mereka dengan kondisi degeneratif mental," tambah Jackson.(Sumber: Sehatnews.com)

Rajin Minum Kopi Meminimalisir Risiko Kanker Kulit

REPUBLIKA.CO.ID, BOSTON - Kopi bisa mengurangi risiko kanker kulit. Kabar baik ini diliris, Senin (24/10) di Asosiasi Amerika untuk Penelitian dan Pencegahan Kanker yang ke-10. Konferensi internasional yang diselenggarakan di Boston ini menunjukkan kopi yang diminum, terutama oleh wanita memiliki efek positif terdahap risiko kanker kulit.

Wanita yang minum lebih dari tiga cangkir kopi per hari memiliki risiko lebih rendah 20 persen terkena Karsinoma Sel Basal (BBC), dibandingkan wanita yang minum kurang dari secangkir per bulan. BBC adalah salah satu jenis kanker kulit yang paling sering didiagnosis.
Menurut American Cancer Society, 75 persen dari semua kasus kanker kulit yang ada adalah jenis BBC. Sampai sekarang sudah ada total 22.786 kasus. Pria yang minum dengan jumlah yang sama memiliki risiko lebih rendah sembilan persen menghadapai kanker kulit.
"Studi kami menunjukkan bahwa konsumsi kopi dapat menjadi pilihan penting untuk membantu mencegah BBC," kata Fengju Song, peneliti yang ikut terlibat dalam riset ini.
Data ini diperoleh dari studi yang dilakukan perawat di rumah sakit wanita Brigham, dan praktisi kesehatan profesioanal (Harvard School of Public Health). Perawat mengambil sekitar 72.921 peserta dari Juni 1984 sampai Juni 2008. Praktisi kesehatan profesional meneliti 39.976 peserta sejak Juni 1986 sampai Juni 2008.
 
Sayang, manfaat dari minum kopi ini belum terlihat positif terhadap jenis kanker kulit yang lain, yakni  karsinoma sel skuamosa (1.953 kasus) atau melanoma (741 kasus). Penelitian sebelumnya telah menunjukkan peminum kopi cenderung mmeberikan risiko kanker payudara, rahim, prostat dan kanker usus besar. Efek yang bagus ini tidak terlihat pada orang yang minum kopi tanpa kafein.

Tuesday 25 October 2011

Menggapai Keadilan Sosial dalam Pelayanan Kesehatan

Dalam rangka HUT IDI ke 61 (24 Oktober 1950 -24 Oktober 2011)


Kita semua tentu mengenal Amerika Serikat sebagai salah satu negara kapitalis. Namun, yang amat mengagetkan karena ternyata salah satu daya tarik bagi pemilih negara tersebut terhadap Presiden Terplih Obama adalah program jaminan kesehatannya. Ketika itu, di Amerika Serikat terdapat sekitar 47 juta orang  tidak memiliki/dilindungi oleh jaminan kesehatan (asuransi kesehatan). Sebagai Negara Adi Daya tentu hal ini sangat  aneh. Bila dibanding dengan Inggris, Jepang,  dan beberapa negara lain yang tenyata kedua negara ini hampir seratus persen penduduknya dilindungi asuransi kesehatan sehingga ketika ia sakit maka tidak perlu hawatir atau cemas akan jatuh miskin. Oleh karena itu, Obama yang terpilih sebagai presiden berjanji akan mengatasi masalah ini dengan program terencana dan spesifik termasuk skema kelembagaan, keuangan, dan pendanaanya.
Gagasan politik kesejahteran Obama tersebut, setidaknya menyimpan dua pesan yang amat berharga bagi setiap negara yang ingin melindungi rakyatnya: (a) kesehatan masyarakat menjai isu terdepan  dalam agenda pemilu dan relasi antara politisi dan pemilih; (b) sejauh mana kompetisi pemilu juga melibatkan kompetisi gagasan dan konsep untuk pemecahan masalah dan dijustifikasi secara eksplisit, bukan sekedar retorika umum atas sebuah isu pemilu, pilpres, atau pilkada semata.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan Indonesia?  Apakah politik kesehatan dan kesejahteraan rakyat akan menjadi prioritas utama pada setiap “event” pemilihan pejabat negara? Sebagian kalangan berpendapat bahwa Indonesia belumlah mencapai tingkatan kesadaran semacam itu. Penyebabnya karena realitas dan kinerja kesehatan kita kini masih memiliki dua wajah. Wajah pertama, seiring pertumbuhan ekonomi selama 30 tahun dan sebelum krisis dan 10 tahun pasca krisis 1998, dimana lapisan kelas menengah yang mampu membayar jasa pelayanan kesehatan makin besar. Demikian pula konsumen untuk pelayanan kesehatan dan pasar kesehatan juga makin besar. Sehingga tidak heran bila makin banyak warga Indonesia dengan enteng melenggang ke luar negeri untuk berobat, memperoleh jasa pelayanan yang dianggapnya lebih baik dan berkelas dunia. Fakta lain, makin tumbuhnya rumah sakit swasta yang berlabel “kelas internasional” didirikan di kota-kota besar untuk sekedar memenuhi tuntutan dan kebutuhan kelompok masyarakat ini tertentu. 
Wajah kedua adalah kelompok masyarakat warga negara kebanyakan yang gagal memperoleh pelayanan kesehatan yang layak akibat rendahnya akses dan rendahnya mutu pelayanan kesehatan. Dan kalau pun memperoleh pelayanan kesehatan maka yang didapatkan berupa kualitas yang tidak memadai dengan fasilitas kesehatan yang seadanya. 
Pendapat senada pernah disitir oleh Prof. Djalaludin Rahmat di dalam suatu forum diskusi bulan Agustus lalu.  Cendekiawan muslim yang akrab disapa dengan Kang Djalal  ini menyampaikan presentasi berjudul, “Attacking inequality in health sector”.   Dalam pemaparannya dikemukakan, “terdapat orang yang lebih dari yang lain dalam pemenuhan hak-hanya, misalnya orang kaya.  Bahwa setiap warga memiliki hak untuk sehat adalah betul, namun tidak setiap warga negara memiliki kesempatan untuk menggunakan haknya. Hampir di seluruh negara, masyarakat miskin lebih banyak mengalami masalah dalam pemenuhan hak-hak kesehatan. Akses, fasilitas serta tenaga kesehatan di sekitar masyarakat miskin tidak memadai dan kurang terlalih, obat-obatan kurang tersedia dan mahal, serta tidak adanya keberanian untuk menuntut hak-hak sehat kepada pemerintah atau tenaga kesehatan ketika haknya diabaikan. Kemiskinan dan kesehatan adalah realitas kehidupan yang memprihatinkan bagi orang-orang miskin”. 
Bagi orang-orang miskin, perbaikan layanan kesehatan merupakan dorongan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinannya. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi kaum miskin mempunyai arti penting, paling tidak karena tiga alasan: (a) satu-satunya modal  utama dan kebanggan bagi orang miskin itu adalah keadaan sehatnya; (b) untuk menjamin terpenuhinya keadilan sosial bagi masyarakat miskin; (c) untuk menjamin stabilitas politik nasional.
Keadilan sosial di bidang kesehatan
Perwujudan keadilan sosial itu harus mencerminkan imperatif etis keempat silanya. Menurut Notonogoro (1974), sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia diliputi dan dijiwai oleh sila-sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan”
Di sisi lain, otentitas pengamalan sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan sosial dalam peri-kehidupan kebangsaan. Kesungguhan negara dalam melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan persatuan bisa dinilai dari usaha nyata dalam mewujudkan keadilan sosial.
Dengan aktualisasi negara kesejahteraan, diharapkan negara dapat mengelola kekayaan bersama (commonwealth)  untuk sebesar-besanya kemakmuran rakyat, mencegah penguasaan kekayaan bersama oleh modal perseorangan (baik kapitalis asing maupun lokal) yang melemahkan sendi ketahanan ekonomi kolektif, mengembangkan semangat “tolong- menolong” (koperasi) dalam setiap bentuk badan usaha serta memperkuat badan usaha koperasi bagi emansipasi golongan ekonomi kecil dan menengah. Negara kesejahteraan juga diharapkan bisa memberi kesempatan bagi semua warga untuk mengembangkan diri melalui akses pendidikan dan peningkatan pengetahuan bagi semua, perluasaan kesempatan serta jaminan sosial sebagai jaring pengaman sosial.
Di bidang kesehatan, negara seharusnya memikirkan nasib rakyat dengan cara menyediakan fasilitas kesehatan memadai serta tenaga kesehatan yang profesional (kompeten). Dan kemudian secara bersunguh-sungguh menyediakan jaminan sosial kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa diskriminasi untuk melindungi dan memberi rasa aman terhadap kemungkinan timbulnya ketakutan akan menjadi hidup miskin dan lemah ketika suatu saat rakyat itu sakit.
Pelayanan kesehatan yang profesional baru memiliki daya ungkit maksimal dalam perwujudan keadilan sosial bila ditopang oleh sistem pembiayaan yang berkeadilan.  Begitu pentingnya jaminan sosial ini sehingga Prof. F. A. Moeloek,  dalam suatu sesi diskusi publik mengatakan, “Tanpa jaminan sosial kesehatan maka tidak ada kedaulatan rakyat untuk sehat”.
Setidaknya ada tiga alasan utama kenapa jaminan sosial di bidang kesehatan di suatu negara semakin menjadi penting bila ia ingin mewujudkan cita-cita keadilan sosial. Ketiga alasan itu adalah: (a) ketidakpastian munculnya kondisi sakit; (b) layanan kesehatan tidak bisa ditunda; (c) adanya disparitas informasi dan pengetahuan  antara pasien dan dokter/tenaga kesehatan lainnya. Memperhatikan ketiga alasan ini maka seharusnya pelayanan kesehatan tidak diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Pemerintah harus mampu menjamin pelayanan kesehatan kepada setiap warga negara tanpa membedakan status sosial budaya dan ekonominya. Tanpa jaminan sosial yang akan memberi perlindungan kepada rakyat Indonesia di era liberalisasi pelayanan kesehatan maka dapat diibaratkan  bila seorang ibu membiarkan anaknya dimangsa binatang buas.
Karena itu perwujudan negara kesejahteraan sangat ditentukan oleh integritas dan mutu para pemerintah atau penyelenggara negara, disertai dukungan rasa tangung jawab dan rasa kemanusiaan yang terpancar pada setiap warga negara tersebut. Dalam visi negara ini yang hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, berlaku prinsip “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Tidak sepantasnya, pejabat negara hanya ingin mendapat untung dengan membiarkan  rakyat terus “buntung”. Maka dari itu, pokok pikiran keempat UUD 1945 : “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”,  mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara lainnya untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Menurut Yudi Latif (Negara Paripurna, 2011),   keadilan sosial adalah satu-satunya sila Pancasila yang dilukiskan dalam Pembukaan UUD 1945 dengan menggunakan kata kerja “mewujukan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Prinsip keadilan adalah inti dari moral ketuhanan, landasan pokok kemanusiaan, simpul persatuan, dan matra kedaulatan .
Dengan pemenuhan imperatif moral sila keadilan sosial, diharapkan  agar rakyat Indonesia dapat keluar dari jeritan panjang belenggu kesakitan dan kemiskinan, untuk selanjutnya menemukan impian kebahagiaannya berupa, “gemah ripa loh jinawi, tata tenteram kerta raharja” (Sunda) atau  “wanua adele’ na salewangeng” (Bugis). Sebuah negeri yang berlimpah kebajikan, yakni negeri adil dan makmur yang di ridhai Allah SWT.  Insya Allah.
  
Oleh: Zaenal Abidin
(Ketua Terpilih PB Ikatan Dokter Indonesia)
Catatan:
Tema HUT IDI tahun ini sama dengan tema Mukernas IDI ke 29 (19–23 Oktober 2011 di Pekanbaru): “Reaktualisasi Profesionalisme dokter Indonesia menuju pelayanan kesehatan berkeadilan”. 

Harian Fajar Makassar - 25 Oktober 2011
 

Harapan Terhadap Pofesionalisme Dokter Indonesia

       Menyambut Mukernas IDI ke 29, tanggal 19-23 Oktober 2011, di Pekanbaru

                                                 
Dalam keseharian kita, acap kali kita mendengar orang disekitar mengucapkan kata profesionalisme atau bahkan mungkin kita sendiri yang mangatakannya. Pertanyaannya kemudian, apakah profesionalisme  itu?  
 
Profesionalisme adalah tingkah laku keahlian atau kualitas dari seseorang yang profesional (Longman, 1987). Profesionalisme merupakan sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Karena itu seseorang yang memiliki profesionalisme yang tinggi akan tecermin dalam sikap mental serta komitmennya terhadap perwujudan dan peningkatan kualitas profesional melalui cara dan strategi tertentu. Ia akan mengembangkan  diri sesuai tuntutan perkembangan zaman sehingga eksistensinya di tengah masyarakat selalu memberi makna yang profesional.
 
Sementara profesional mempunyai makna, yaitu berhubungan dengan profesi dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya (KBBI, 1994).  Kata profesional mengacu kepada sebutan orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan sesuai profesinya. Penyandangan dan penampilan profesional ini telah mendapat pengakuan secara formal maupun informal. Pengakuan secara formal diberikan oleh suatu badan atau lembaga yang mempunyai kewenangan, seperti  pemerintah atau organisasi profesinya. Sedangkan secara informal, pengakuan itu diberikan oleh masyarakat luas dan para pengguna jasa profesi yang bersangkutan. Karena itu profesional dapat dimaknai sebagai kemampuan melakukan pekerjaan sesuai dengan keahlian  dan pengabdian diri kepada pihak lain.
Kaum profesional dikatakan memiliki tanggung jawab sosial yang besar. Karena itu maka mereka dikatakan memberikan pelayanan dengan motivasi altruistik, mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri. Kaum profesional juga dianggap memiliki kemandirian yang besar, dan oleh sebab itu ia diterima sebagai suatu keniscayaan bahwa mereka akan bertindak selaku pembawa panji-panji kebebasan dan kemanusiaan.
Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan profesi? Istilah profesi berasal dari bahasa Latin yakni professus yang semula berarti pernyataan terbuka secara sungguh-sungguh atau pengakuan iman atau  janji di muka umum. Apabila melanggar janji tersebut berarti ia telah menodai kesucian peofesinya. Roscoe Pound menyatakan: “The profession must be self governing, self dicilining and self perpetuating.” Bahkan ia pun menyebut profesi itu sebagai Officium Nobile, suatu jabatan mulia.
 
Di tengah masyarakat dikenal beragam macam profesi, dan diantara profesi-profesi pada umumnya itu terdapat pula profesi khusus . Ke-khusususan suatu profesi terletak pada pengabdiannya kepada masyarakat, di mana  hal tersebut merupakan motivasi utamanya. Sekalipun orang-orang yang menjalankan profesi itu hidup dari pekerjaan profesi itu, namun hakikat profesi menuntutnya bahwa bukanlah nafkah hidup yang menjadi motivasi utamanya. Oleh karenanya profesi tersebut dikatakan dapat menyandang predikat sebagai profesi luhur.
 
Profesi luhur ini memiliki kriteria-kriteria tertentu, sebagaimana profesi pada umumnya. Ada dua hal yang menjadi ciri-ciri profesi pada umumnya, yakni:  (1) pertanggung jawaban; (2) hormat terhadap hak orang lain.
Tanggung jawab merupakan sikap yang selalu dituntut apabila kita melakukan suatu pekerjaan. Tanggung jawab dalam pekerjaan profesional diarahkan kepada pekerjaan dan hasil pekerjaan tersebut, yang diharapkan agar bermutu. Disamping itu tanggung jawab ditunjukkan pula terhadap dampak pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kehidupan di sekitarnya.  Sedangkan menghormati hak orang adalah merupakan prinsip keadilan sosial yang menuntut agar kita memberikan kepada siapa saja, apa yang menjadi haknya. Artinya, pelaksanaan pekerjaan profesi itu tidak boleh mengabaikan, apalagi melanggar hak orang lain.
Bagi profesi luhur, selain  harus memenuhi ciri-ciri profesi pada umumnya di atas, dituntut pula ciri-ciri lain, yaitu: (1) sikap bebas dari pamrih; (2) pengabdian pada tuntutan etika profesi.
Profesi luhur harus dijalankan tanpa pamrih, dimana kepentingan pasien atau klien yang harus diutamakan, bahkan harus didahulukan dari kepentingan pribadi, keluarga atau kelompok. Tuntutan etika profesi harus tetap dipertahankan, meskipun pasien, masyarakat atau negara sekalipun menghendaki lain. Misalnya pasien yang atas permintaannya sendiri dan juga keluarganya agar digugurkan kandungannya atau ingin di-euthanasia, dan seterusnya. Di sini etika profesi luhur harus dipegang meskipun hal ini bertentangan dengan keinginan pasien sendiri. Jadi etika profesi  luhur menuntut dan menuntun agar pelaku profesi dalam keadaan apapun menjunjung tinggi keluhuran profesinya. Etika profesi menjadi benteng pertahanan bagi tegaknya sendi-sendi suatu profesi luhur.
Dalam ilmu hukum profesi dikatakan bahwa di dalam dunia modern profesi dokter merupakan salah satu dari empat profesi yang betul-betul merupakan full-status profession. Ke-empat profesi itu adalah profesi dokter sendiri, profesi hukum, profesi guru, profesi minister (ulama/pendeta).
Kini dunia makin berkembangan dan zaman pun telah berubah. Profesi telah menunjukkan suatu pekerjaan yang bertujuan untuk mencari nafkah atau mata-pencaharian berdasarkan suatu keahlian atau ilmu tertentu.  Namun, bila seorang dokter  masih ingin tetap dikatakan berprofesi luhur maka  tentu saja ia harus selalu memegang teguh ke-empat ciri-ciri profesi luhur di atas, serta senantiasa memagari diri dengan etika profesi yang luhur pula. Mudah-mudahan dengan niat dan ikhtiar semam itu sehingga dokter Indonesia tetap dianggap memiliki sikap mental serta komitmen profesionalisme yang tinggi di mata masyarakatnya. Wallahu alam.
 
Pekanbaru, 19 Oktober 2011
      Oleh. Zaenal Abidin (Ketua Terpilih PB IDI/Ketua Panitia Pengarah Mukernas IDI)

Friday 21 October 2011

Opening Ceremony MUKERNAS IDI XIX






www.idionline.org. Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS)  Ikatan Dokter Indonesia sedang berlangsung di Pekanbaru, Riau , 19 – 23 Oktober 2011 dan dibuka secara resmi oleh Gubernur HM Rusli Zainal, SE, MP pada tanggal 20 Oktober 2011 bertempat di Hotel Pangeran. MUKERNAS ini dihadiri sekitar 300 dokter yang merupakan Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah dan Perhimpunan se-Indonesia. Mukernas dilakukan sekali dalam satu periode kepengurusan,  dengan tugas dan wewenangnya yaitu menilai pelaksanaan program kerja nasional yang diamanatkan Muktamar, menyempurnakan dan memperbaikinya untuk dilaksanakan pada sisa periode kepengurusan selanjutnya. Selain itu, MUKERNAS juga mempunyai wewenang mengadakan pembicaraan pendahuluan tentang bahan muktamar yang akan datang.
Tema Mukernas IDI kali ini adalah “Reaktualisasi Profesionalisme Dokter Indonesia menuju Pelayanan Kesehatan Yang Berkeadilan“, dan pelaksanaan MUKERNAS kali ini di rangkaikan dengan kegiatan antara lain “The 12th National Brain dan Heart Symposium”, pameran kesehatan, Pidato Ulang Tahun IDI ke-61 oleh Ketua Umum PB IDI
, Malam Keakraban Keluarga Besar IDI dan ditutup dengan peringatan Hari Ulang Tahun IDI yang dimeriahkan oleh kegiatan Senam Sehat “Riau Bangkit Untuk Indonesia” bersama Gubernur dan masyarakat Riau.

Tuesday 18 October 2011

ROAD TO MUKERNAS IDI AT PEKANBARU - RIAU



Pekan Baru - RIAU. 
19 - 23 Oktober 2011

Monday 10 October 2011

Sunday 9 October 2011

Simposium dan Pelatihan : Pendekatan Praktis Masalah THT


8 Oktober 2011 bertempat di Harris Hotel & Conventions Kelapa Gading - Jakarta Utara Perhimpunan Dokter Umum Indonesia mengadakan Simposium dan pelatihan "Pendekatan Praktis Masalah THT ". Acara dibuka langsung oleh ketua harian presidium nasional PDUI Dr Imelda Datau kemudian dilanjutkan dengan  Simposium dengan materi:

1. Tata laksana & Penanganan komplikasi OMSK DR. Dr. Ratna Dwi Restuti, Sp.THT-KL(K)

2. Rinitis alergi : diagnosis & tata laksana Dr. Nina Irawati, Sp.THT-KL


3.
Obstruksi saluran napas atas oelh Dr Rahmanofa Yunizaf Sp.THT – KL

4. Tata laksana terkini vertigo dan tinnitus Dr widayat Alviandi,Sp.THT – KL



Penyakit-penyakit tersebut merupakan gangguan THT yang paling banyak dijumpai dan sering kali menyebabkan kualitas hidup penderitanya menurun sehingga perlu dilakukan diagnosis dan tata laksana yang tepat.



Pada kegiatan ilmiah kali ini juga  diberikan Pelatihan skrining pendengaran oleh :
Dr Ronny Suwento, Sp.THT – KL,
Dr Semiramis Zizlavsky, Sp.THT – KL dan
Dr Trijuda Airlangga, Sp.THT – KL 







Diakhir kegiatan dilakukan  pelatihan pengisian borang untuk resertifikasi dan registrasi ulang untuk Dokter Umum yang diberikan oleh Dr Mahesa Paranadipa MHKes sebagai Manajer Eksekutif P2KB PB IDI







Thursday 6 October 2011

Tes Foto




Dr Adib Khumaidi Sp.OT




Tanggal 1 Oktober di Fakultas Kedokteran UI Salemba dilangsungkan pelantikan Dr Spesialis baru and salah satunya mas kami Dr Adib Khumaidi Sp.OT. Setelah 5 tahun berjuang akhirnya selesai juga ....Selamat yah Mas

Waiting For The End

This is not the end
This is not the beginning,
Just a voice like a riot
Rocking every revision
But you listen to the tone
And the violent rhythm
Though the words sound steady
Something empty's within 'em

We say Yeah!
With fists flying up in the air
Like we're holding onto something
That's invisible there,
'Cause we're living at the mercy of
The pain and the fear
Until we dead it, Forget it,
Let it all disappear.

Waiting for the end to come
Wishing I had strength to stand
This is not what I had planned
It's out of my control....

Flying at the speed of light
Thoughts were spinning in my head
So many things were left unsaid
It's hard to let you go...

(Oh!) I know what it takes to move on,
I know how it feels to lie,
All I wanna do
Is trade this life for something new
Holding on to what I haven't got

Sitting in an empty room
Trying to forget the past
This was never meant to last,
I wish it wasn't so...

(Oh!) I know what it takes to move on,
I know how it feels to lie,
All I wanna do

Is trade this life for something new
Holding on to what I haven't got

What was left when that fire was gone?
I thought it felt right but that right was wrong
All caught up in the eye of the storm
And trying to figure out what it's like moving on
And i don't even know what kind of things I've said
My mouth kept moving and my mind went dead
So, picking up the pieces, now where to begin?
The hardest part of ending Is starting again!!

All I wanna do
Is trade this life for something new
Holding on to what i haven't got...

This is not the end
This is not the beginning,
Just a voice like a riot
Rocking every revision
But you listen to the tone
And the violet rhythm
Though the words sound steady
Something empty's within 'em
(Holding on to what i haven't got)

We say Yeah!
With fists flying up in the air
Like we're holding onto something
That's invisible there,
'Cause we're living at the mercy of
The pain and the fear
Until we dead it, Forget it,
Let it all disappear
(Holding on to what i haven't got!)

Friday 30 September 2011

IMUNISASI


Sumber gambar : kapanlagi.com
Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. 

Mengapa Imunisasi lebih fokus diberikan kepada anak-anak ? Hal ini dikarenakan  sistem kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap serangan penyakit berbahaya. Walapun sebenarnya kekebalan telah diberikan oleh ibu ke bayi yang dikandung tetapi tidak akan berlangsung lama, maka kekebalan harus dibentuk melalui pemberian imunisasi pada bayi.

Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan satu kali, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan lengkap terhadap berbagai penyakit yang sangat membahayakan kesehatan dan hidup anak.

Sebelum melakukan imunisasi orangtua sebaiknya memperhatikan beberapa hal, kondisi fisik  dan riwayat kesehatan anak seperti panas; menderita kejang-kejang sebelumnya ; atau menderita penyakit system saraf. Sebaiknya  diberitahukan kepada dokter/petugas kesehatan  yang akan melakukan imunisasi 

Walaupun pengalaman sewaktu mendapatkan vaksinasi/imunjsasi itu  tidak menyenangkan untuk bayi (karena biasanya akan mendapatkan suntikan), tapi rasa sakit yang sementara akibat suntikan ini adalah untuk kesehatan anak dalam jangka waktu panjang.

Berikut jadwal dan jenis imunisasi 

·         Imunisasi yang diwajibkan



Vaksinasi

Jadwal pemberian-usia

Booster/Ulangan

Imunisasi untuk melawan

BCG

Waktu lahir

--

Tuberkulosis

Hepatitis B
Waktu lahir-dosis I
1bulan-dosis 2
6bulan-dosis 3
 1 tahun -- pada bayi yang lahir dari ibu dengan hep B.

Hepatitis B

DPT dan Polio

3 bulan-dosis1
4 bulan-dosis2
5 bulan-dosis3 

18bulan-booster1
6tahun-booster 2
12tahun-booster3

Dipteria, pertusis, tetanus, dan polio

Campak

9 bulan

--

Campak


·         Imunisasi yang dianjurkan:


Vaksinasi

Jadwal pemberian-usia

Booster/Ulangan

Imunisasi untuk melawan

MMR

1-2 tahun

12 tahun

Measles, meningitis, rubella


Hib

3bulan-dosis 1
4bulan-dosis 2
5bulan-dosis 3


18 bulan

Hemophilus influenza tipe B

Hepatitis A

12-18bulan

--

Hepatitis A

Cacar air

12-18bulan

--

Cacar air