Sunday 8 July 2018

25 Tahun dan Mimpi-Mimpi Yang Sederhana

Bekerja dengan lembaga kemanusiaan adalah  nafas buat saya.

Berawal di bangku perkuliahan bisa dibilang saya dibesarkan di era transisi antara orde baru dan reformasi. Saat itu pemikiran kritis saling bertarung, kemanusiaan menjadi pertanyaan. 

Sebagai mahasiswa kedokteran, sikap kritis itu terwujud dalam keterlibatan saya dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan dan tentunya juga kemanusiaan. Sebagai hasil interpretasi saya akan Islam dan kemanusiaan dalam karya-karya Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, ataupun Ali Syariati.

Lebih dari itu, ada rasa senang yang entah berantah hadir ketika saya memberikan obat dan membantu kaum yang papah ataupun yang terkena bencana. Dari situ saya mulai merasakan panggilan untuk memburu kebahagiaan itu, kebahagiaan yang tiada tara saat membantu sesama.

Namun saya sadar panggilan ini memang tidak menawarkan pundi yang muluk-muluk seperti yang akan saya rasakan bila bekerja di perusahaan ataupun seperti kebanyakan rekanan sejawat saya yang bekerja di fasilitas kesehatan dengan menjadi praktisi kesehatan. Karena bila mencari zona nyaman, tentu pilihan bekerja di lembaga kemanusiaan bukanlah opsi terbaik.

Tapi lagi-lagi ini soal panggilan hati, panggilan yang mungkin sangat sulit untuk dielakkan. 

Kebahagiaan itu membuncah ketika menjadi bagjan dari keluarga besar dari lembaga kemanusiaan, Dompet Dhuafa yg baru saja berulang tahun ke 25 memang baru satu tahun terakhir ini.

Salah satu kebanggaan bekerja di lembaga ini adalah saya sadar bahwa kebahagiaan itu meretas dari kesederhanaan dan keikhlasan. Di sini saya merasa bersama rekan-rekan yang juga menuruti panggilan yang sama saya rasakan.

Sebuah perayaan sederhana di Zona Madina Dompet Dhuafa dimana semua Pendiri, Amil, Karyawan dan Alumni dari Lembaga Kemanusiaan dan juga organ sayap Dompet Dhuafa lainnya turut hadir. 
Acara dengan tema "Menjawab Panggilan Zaman" adalah refleksi yang saya rasakan saat berada di acara tersebut.

Bayangkan ketika berada dalam sebuah ruang aula bersama orang-orang yang batinnya juga terpanggil. Di situ saya merasakan keikhlasan dan kerja-kerja kemanusiaan tak akan lekang oleh zaman, sekalipun putaran roda zaman dan teknologi melancarkan keterasingan dan individualisme.

Semangat dan panggilan itu semakin menguat. Saya yang diamanahkan  untuk bergabung di Divisi Kesehatan sebagai garda terdepan untuk layanan dan pemberdayaan dibidang
kesehatan. 

Saya sadar bahwa tantangan Dompet Dhuafa dan lembaga kemanusiaan lainnya di era JKN, semakin nyata. Di mana semua akses kesehatan bisa gratis. Mungkin saja akan banyak pertanyaan alasan DD masih melanjutkan program Kesehatan Cuma-cumanya bila semua akan ditanggung Negara.

Tapi haruslah disadari kesehatan bukan hanya soal gratis dan berbayar. Ada aspek lain yang mungkin terlewatkan atau mungkin saja belum tercakup dalam sistem JKN ini. Nyatanya JKN belum bisa menjawab kasus malanutrisi di Asmat, hoax kesehatan, atau kasus pasien yang tidak tertangani. Semua bisa kita rasakan denyutnya di era kebebasan informatika ini, media sosial.

Disitulah kami perlu merasa hadir dengan program-program pemberdayaan kesehatan yg sdh kami lakukan sejak 17 thn yang lalu. Tersebar di 9 Provinsi, 20 GeraiSehat/Klinik, 50 Pos Sehat  dan 5 RS, kami terus mengembangkan program - program kesehatan mulai dari promosi preventif untuk pendampingan komunitas dan tentunya juga kuratif yg kami sediakan di fasilitas kesehatan dan tentunya juga layanan advokasi kesehatan seperti  layanan Respon Darurat Kesehatan. 
Lagi-lagi saya yakin, bahwa saya tidak menyesal panggilan itu, karena di lembaga ini saya melihat jarak pandang dan cita-cita saya dapat digapai. Walau saya tahu itu tidak gampang. Setidaknya saya bisa mengejar kebahagiaan saya dalam kesederhanaan lembaga ini.

Salam takzim untuk 25 tahun Dompet Dhuafa dan 17 tahun Layanan Kesehatan Cuma-Cuma.

Rosita Rivai
Aktivis Kemanusiaan Dompet Dhuafa

No comments:

Post a Comment