Tuesday 25 October 2011

Menggapai Keadilan Sosial dalam Pelayanan Kesehatan

Dalam rangka HUT IDI ke 61 (24 Oktober 1950 -24 Oktober 2011)


Kita semua tentu mengenal Amerika Serikat sebagai salah satu negara kapitalis. Namun, yang amat mengagetkan karena ternyata salah satu daya tarik bagi pemilih negara tersebut terhadap Presiden Terplih Obama adalah program jaminan kesehatannya. Ketika itu, di Amerika Serikat terdapat sekitar 47 juta orang  tidak memiliki/dilindungi oleh jaminan kesehatan (asuransi kesehatan). Sebagai Negara Adi Daya tentu hal ini sangat  aneh. Bila dibanding dengan Inggris, Jepang,  dan beberapa negara lain yang tenyata kedua negara ini hampir seratus persen penduduknya dilindungi asuransi kesehatan sehingga ketika ia sakit maka tidak perlu hawatir atau cemas akan jatuh miskin. Oleh karena itu, Obama yang terpilih sebagai presiden berjanji akan mengatasi masalah ini dengan program terencana dan spesifik termasuk skema kelembagaan, keuangan, dan pendanaanya.
Gagasan politik kesejahteran Obama tersebut, setidaknya menyimpan dua pesan yang amat berharga bagi setiap negara yang ingin melindungi rakyatnya: (a) kesehatan masyarakat menjai isu terdepan  dalam agenda pemilu dan relasi antara politisi dan pemilih; (b) sejauh mana kompetisi pemilu juga melibatkan kompetisi gagasan dan konsep untuk pemecahan masalah dan dijustifikasi secara eksplisit, bukan sekedar retorika umum atas sebuah isu pemilu, pilpres, atau pilkada semata.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan Indonesia?  Apakah politik kesehatan dan kesejahteraan rakyat akan menjadi prioritas utama pada setiap “event” pemilihan pejabat negara? Sebagian kalangan berpendapat bahwa Indonesia belumlah mencapai tingkatan kesadaran semacam itu. Penyebabnya karena realitas dan kinerja kesehatan kita kini masih memiliki dua wajah. Wajah pertama, seiring pertumbuhan ekonomi selama 30 tahun dan sebelum krisis dan 10 tahun pasca krisis 1998, dimana lapisan kelas menengah yang mampu membayar jasa pelayanan kesehatan makin besar. Demikian pula konsumen untuk pelayanan kesehatan dan pasar kesehatan juga makin besar. Sehingga tidak heran bila makin banyak warga Indonesia dengan enteng melenggang ke luar negeri untuk berobat, memperoleh jasa pelayanan yang dianggapnya lebih baik dan berkelas dunia. Fakta lain, makin tumbuhnya rumah sakit swasta yang berlabel “kelas internasional” didirikan di kota-kota besar untuk sekedar memenuhi tuntutan dan kebutuhan kelompok masyarakat ini tertentu. 
Wajah kedua adalah kelompok masyarakat warga negara kebanyakan yang gagal memperoleh pelayanan kesehatan yang layak akibat rendahnya akses dan rendahnya mutu pelayanan kesehatan. Dan kalau pun memperoleh pelayanan kesehatan maka yang didapatkan berupa kualitas yang tidak memadai dengan fasilitas kesehatan yang seadanya. 
Pendapat senada pernah disitir oleh Prof. Djalaludin Rahmat di dalam suatu forum diskusi bulan Agustus lalu.  Cendekiawan muslim yang akrab disapa dengan Kang Djalal  ini menyampaikan presentasi berjudul, “Attacking inequality in health sector”.   Dalam pemaparannya dikemukakan, “terdapat orang yang lebih dari yang lain dalam pemenuhan hak-hanya, misalnya orang kaya.  Bahwa setiap warga memiliki hak untuk sehat adalah betul, namun tidak setiap warga negara memiliki kesempatan untuk menggunakan haknya. Hampir di seluruh negara, masyarakat miskin lebih banyak mengalami masalah dalam pemenuhan hak-hak kesehatan. Akses, fasilitas serta tenaga kesehatan di sekitar masyarakat miskin tidak memadai dan kurang terlalih, obat-obatan kurang tersedia dan mahal, serta tidak adanya keberanian untuk menuntut hak-hak sehat kepada pemerintah atau tenaga kesehatan ketika haknya diabaikan. Kemiskinan dan kesehatan adalah realitas kehidupan yang memprihatinkan bagi orang-orang miskin”. 
Bagi orang-orang miskin, perbaikan layanan kesehatan merupakan dorongan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinannya. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi kaum miskin mempunyai arti penting, paling tidak karena tiga alasan: (a) satu-satunya modal  utama dan kebanggan bagi orang miskin itu adalah keadaan sehatnya; (b) untuk menjamin terpenuhinya keadilan sosial bagi masyarakat miskin; (c) untuk menjamin stabilitas politik nasional.
Keadilan sosial di bidang kesehatan
Perwujudan keadilan sosial itu harus mencerminkan imperatif etis keempat silanya. Menurut Notonogoro (1974), sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia diliputi dan dijiwai oleh sila-sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan”
Di sisi lain, otentitas pengamalan sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan sosial dalam peri-kehidupan kebangsaan. Kesungguhan negara dalam melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan persatuan bisa dinilai dari usaha nyata dalam mewujudkan keadilan sosial.
Dengan aktualisasi negara kesejahteraan, diharapkan negara dapat mengelola kekayaan bersama (commonwealth)  untuk sebesar-besanya kemakmuran rakyat, mencegah penguasaan kekayaan bersama oleh modal perseorangan (baik kapitalis asing maupun lokal) yang melemahkan sendi ketahanan ekonomi kolektif, mengembangkan semangat “tolong- menolong” (koperasi) dalam setiap bentuk badan usaha serta memperkuat badan usaha koperasi bagi emansipasi golongan ekonomi kecil dan menengah. Negara kesejahteraan juga diharapkan bisa memberi kesempatan bagi semua warga untuk mengembangkan diri melalui akses pendidikan dan peningkatan pengetahuan bagi semua, perluasaan kesempatan serta jaminan sosial sebagai jaring pengaman sosial.
Di bidang kesehatan, negara seharusnya memikirkan nasib rakyat dengan cara menyediakan fasilitas kesehatan memadai serta tenaga kesehatan yang profesional (kompeten). Dan kemudian secara bersunguh-sungguh menyediakan jaminan sosial kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa diskriminasi untuk melindungi dan memberi rasa aman terhadap kemungkinan timbulnya ketakutan akan menjadi hidup miskin dan lemah ketika suatu saat rakyat itu sakit.
Pelayanan kesehatan yang profesional baru memiliki daya ungkit maksimal dalam perwujudan keadilan sosial bila ditopang oleh sistem pembiayaan yang berkeadilan.  Begitu pentingnya jaminan sosial ini sehingga Prof. F. A. Moeloek,  dalam suatu sesi diskusi publik mengatakan, “Tanpa jaminan sosial kesehatan maka tidak ada kedaulatan rakyat untuk sehat”.
Setidaknya ada tiga alasan utama kenapa jaminan sosial di bidang kesehatan di suatu negara semakin menjadi penting bila ia ingin mewujudkan cita-cita keadilan sosial. Ketiga alasan itu adalah: (a) ketidakpastian munculnya kondisi sakit; (b) layanan kesehatan tidak bisa ditunda; (c) adanya disparitas informasi dan pengetahuan  antara pasien dan dokter/tenaga kesehatan lainnya. Memperhatikan ketiga alasan ini maka seharusnya pelayanan kesehatan tidak diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Pemerintah harus mampu menjamin pelayanan kesehatan kepada setiap warga negara tanpa membedakan status sosial budaya dan ekonominya. Tanpa jaminan sosial yang akan memberi perlindungan kepada rakyat Indonesia di era liberalisasi pelayanan kesehatan maka dapat diibaratkan  bila seorang ibu membiarkan anaknya dimangsa binatang buas.
Karena itu perwujudan negara kesejahteraan sangat ditentukan oleh integritas dan mutu para pemerintah atau penyelenggara negara, disertai dukungan rasa tangung jawab dan rasa kemanusiaan yang terpancar pada setiap warga negara tersebut. Dalam visi negara ini yang hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, berlaku prinsip “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Tidak sepantasnya, pejabat negara hanya ingin mendapat untung dengan membiarkan  rakyat terus “buntung”. Maka dari itu, pokok pikiran keempat UUD 1945 : “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”,  mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara lainnya untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Menurut Yudi Latif (Negara Paripurna, 2011),   keadilan sosial adalah satu-satunya sila Pancasila yang dilukiskan dalam Pembukaan UUD 1945 dengan menggunakan kata kerja “mewujukan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Prinsip keadilan adalah inti dari moral ketuhanan, landasan pokok kemanusiaan, simpul persatuan, dan matra kedaulatan .
Dengan pemenuhan imperatif moral sila keadilan sosial, diharapkan  agar rakyat Indonesia dapat keluar dari jeritan panjang belenggu kesakitan dan kemiskinan, untuk selanjutnya menemukan impian kebahagiaannya berupa, “gemah ripa loh jinawi, tata tenteram kerta raharja” (Sunda) atau  “wanua adele’ na salewangeng” (Bugis). Sebuah negeri yang berlimpah kebajikan, yakni negeri adil dan makmur yang di ridhai Allah SWT.  Insya Allah.
  
Oleh: Zaenal Abidin
(Ketua Terpilih PB Ikatan Dokter Indonesia)
Catatan:
Tema HUT IDI tahun ini sama dengan tema Mukernas IDI ke 29 (19–23 Oktober 2011 di Pekanbaru): “Reaktualisasi Profesionalisme dokter Indonesia menuju pelayanan kesehatan berkeadilan”. 

Harian Fajar Makassar - 25 Oktober 2011
 

No comments:

Post a Comment