Friday 3 May 2019

Mengenang Kartini, Mengingat Kesehatan Perempuan


Menurut saya potret kemiskinan dan ketidaberdayaan masyarakat dapat dilihat dari potret perempuannya. Sama halnya ketika melihat sosok RA Kartini.
Kartini adalah tokoh yang mendorong emansipasi dan perjuangan hak-hak perempuan. Sehimpun surat-suratnya yang terangkum dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, mendorong perempuan untuk terus memperjuangkan hak-haknya.
Apa daya, pejuang emansipasi tersebut harus meninggal di tangan preeklampsia di usia 25 tahun. Preeklampsia adalah sindrom meningkatnya tekanan darah saat melahirkan. Dan itu terjadi di September 1904, kala melahirkan anak pertamanya, Raden Mas Soesalit Djojoadhiningrat.
Terlepas dari benar atau tidaknya serta spekulasi terkait penyebab kematian RA Kartini. Pukulan telak disasar pada bangsa ini karena tidak mampu mempertahankan kehidupan seorang yang menyinari bangsa ini di usia 25 tahun. Dan disitulah dapat dilihat bahwa di bawah penjajahan, bangsa ini miskin, tidak berdaya.
Lepas seabad, nyatanya nasib perempuan terkait kesehatan belum juga membaik.
Jumlah kasus kematian bayi dari 33.278 di tahun 2015 menjadi 32.007 pada tahun 2016, dan di tahun 2017 di semester I sebanyak 10.294 kasus. Demikian pula dengan angka kematian ibu turun dari 4.999 tahun 2015 menjadi 4912 di tahun 2016 dan di tahun 2017 sebanyak 1712 kasus.
Kematian tersebut bukan hanya preeklampisa, beberapa kasus seperti kurangnya asupam nutrisi, KEK (Kekurangan Energi Kronis) pada ibu hamil, dapat menyehabkan pelbagai masala. Masalah itu bisa berimplikasi semisal kasus BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah yang dapat mengancam nyawa ibu dan anak.
Bukan hanya kematian, dalam temuan David E Bloom, dkk yang menyarikan penelitian-penelitian dalam kurun waktu 30 tahun terkait pembangunan ekonomi dan kesehatan perempuan, menemukan adanya keterkaitan antara dua faktor tersebut. Kesimpulannya, kesehatan perempuan yang adekuat dapat meningkatkan pembangunan sumber daya manusia, yang kemudian berlanjut pada ekonomi.
Menyadari itu, dunia menyambut Millenium Development Goals (MDGs) rentang 2010-2015. Apa daya itu gagal, menjadikan Indonesia tertatih-tatih mencapai Millenium Development Goals tahun 2015 lalu. Kegagalan tersebut disadari banyak faktor.
Pertama faktor budaya. Perkawinan dini masih menjadi pekerjaan rumah untuk dituntaskan di Indonesia. Menurut BPS tahun 2016, Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah merupakan tiga provinsi dengan prevalensi tertinggi perkawinan usia anak. Pemikahan dini ini menyebabkan permasalahan kesehatan: terlahir cacat, kurang gizi, hingga gangguan kejiwaan. Belum lagi kerentanan perempuan terhadap penyakit-penyakit menular seksual
Kedua, akses ke pelayanan kesehatan dan pemahaman akan kesehatan reproduksi. Pengalaman saya akan di beberapa wilayah pelosok, semisal di Papua ataupun masyarakat adat. Di kelompok masyarakat tersebut, akses pelayanan kesehatan sulit diperoleh. Semisal di Asmat, ketersediaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan cukup langka untuk diperoleh di distrik-distrik. Di masyarakat adat Kajang, pemenuhan terhadap bidan dan persalinan, terhalangi akan jarak dengan kawasan adat Ammatoa.
Belum lagi pendidikan seksual yang masih dianggap tabu diajarkan semenjak belia. Padahal sudah jelas pendidikan ini penting utamanya untuk menyiapkan calon ibu, yang juga merupakan pencetak generasi-generasi bangsa.
Tantangan SDGs
Jaminan akan kesehatan terhadap perempuan sebenarnya telah tercakup dalam konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), di tahun1979. Dalam konferensi tersebut, disebutkan bahwa perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan bebas dari kematian pada saat melahirkan.
Jaminan akan kesehatan tersebut juga tercakup dalam penyempurnaan MDGs, Sustainable Development Goals (SDGs) yang akan berakhir di tahun 2030. Visi dan komitmen bangsa-bangsa untuk menyelesaikan masalah global tersebut tercakup dalam poin 3, Good Health and Wellbeing, dan poin 5, Gender Equality.
Perjalanan dari SDGs ini membutuhkan pelajaran dari kegagalan MDGs, yang notabene bersifat sentralistik ke pemerintah dan tidak melibatkan seluruh sektor masyarakat sipil.
Langkah pemerintah dengan bentuk program 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)-berupa pemberian asupan nutrisi untul bayi dan ibu hamil--membutuhkam solusi-solusi yang bersifat jangka panjang. Semisal bagaimana edukasi kepada calon-calon ibu atau perempuan.
Penemuan saya di beberapa daerah-daerah terpencil, pelosok, dan utamanya masyarakat adat. Pemberian nutrisi dalam bentuk makanan pendamping (MP) ASI, utamanya terhalang karena kesadaran akan kesehatan ibu sendiri. Di beberapa daerah, bahkan untuk memanggil ibu-ibu dan anak-anak untuk ikut hadir di program 1000 HPK cukup sulit.
Belum lagi persepsi para ibu yang menganggap susu formula dapat mengganti ASI, kesadaran untuk hadir di posyandu rutin dan imunisasi, juga pola asuh yang masih menekankan pada ibu.
Pemerintah dalam hal ini perlu belajar bahwa solusi pemberdayaan bukan hanya selesai pada pemberian makan, MP ASI, atau mungkin penyuluhan sehari-dua hari. Kerja berkelanjutan adalah kerja jangka panjang, melelahkan, dan bisa jadi akan membutuhkan banyak eksploras, dan utamanya kerjasama dengan stakeholder terkait.
Kasus badai gizi buruk Asmat, adalah cerminan bagaimana subsidi dan pemberian dalam bentuk materi berjibun--dalam bentuk dana Otsus misalnya--bukanlah solusi. Malahan itu menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak.
Permasalahan kesehatan perempuan harus diakui lebih dari 1000 Hari Pertama Kelahiran. Permasalahan itu dimulai sejak sang perempuan beranjak dewasa, atau mungkin saat menstruasi pertama. Karena saat tersebut para perempuan sudah harus sadar akan hak dan pentingnya kesehatan reproduksi.
Kartini membawa kita akan sebuat terang lewat kematiannya, bahwa emansipaso haruslah dipertahankan dari mulai tubuh perempuan itu sendiri. Tubuh yang mendapat pelayanan kesehatan layak dan tubuh yang sadar akan haknya. Negara yang baik tentu dapat menjamin itu semua.

Selamat Hari Kartini (beberapa menit sebelum 21 April berakhir)
@ochierivai

No comments:

Post a Comment